Haiiii.
Sebetulnya sudah berapa bulan aku nggak aktif review buku-buku yang sudah kubaca karena keterbatasan waktu dengan rutinitas kerjaan kantor yang handle 2 job sekaligus. Jadi betul-betul tidak terpegang.
Nah, tapi aku justru mau nambah review baru, aku mau review film genre apapun yang ku tonton (barat, korea, jepang, apapun lah) atau drama (korea, jepang, atau apapun lah) dan sebisa mungkin aku mau mengusahakan review menurut pendapat alakadarnya aku.
Hahaha.
Semoga Tuhan memperkenankan aku, mengizinkan aku untuk bisa mengatur waktu melakukan kegiatan me time ku ini ya. :p
Ciaooo.
Tunggu review-review ku selain buku yaa!
Wednesday, December 25, 2019
Sunday, August 25, 2019
The Woman in The Window (A.J. Finn)
The Woman in The Window - A.J Finn |
Bonus Pembatas buku tapi ukuran post card dan foto + tulisan cetakan dari penulis. |
Hai!
Kali ini aku mau bahas novel The Woman in The Window karya A.J. Finn, debut pertamanya dan menurutku, sorry to say untuk Paula Hawkins, novel ini jauh lebih oke dibanding The Girl on The Train mu.
Nggak maksud bandingin secara cuma-cuma sih, tapi disini kedua pengarang sama-sama menampilkan tokoh utama yang memiliki kebiasaan alkoholik parah dan melihat pembunuhan disaat lagi mabuk dan menyangka kalau mereka halusinasi gitu. Tipe-tipenya sama, makanya aku agak membandingkan dengan The Girl on The Train, tapi untuk karya A.J. Finn ini selangkah lebih bagus sih menurutku.
Btw, aku nggak pernah review The Girl on The Train ya? Tapi aku rasa, udah banyak juga yang nonton film nya sih, dan jujur aja aku pun agak kurang puas nonton nya. Maaf ya. Selera juga mungkin.
Kita bahas novelnya yuk!
***
Sinopsis
Judul buku : The Woman in The Window
Penulis : A.J. Finn
Penerjemah : Ingrid Nimpoeno
Penyunting : Yuli Pritania
Penata Letak : TBD
Cetakan ke : 1, Mei 2018
Halaman : 573 hal, 22 cm
Penerbit : Mizan Publika (PT. Mizan Publika); Noura Books
ISBN : 978-602-385-328-1
Dikisahkan seorang Psikolog Anak bernama Anna Fox yang mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) akibat kecelakaan yang menyebabkan suami dan anaknya meninggal dunia yang waktu itu Anna lah yang menyetir mobilnya. Anna menjadi agrophobia, dimana dia merasa cemas luar biasa kalau keluar ruangan/tempat terbuka dan di cerita ini dia cemas dan takut banget kalau keluar rumah.
Anna ikut dalam suatu forum untuk penderita Agrophobia, yaitu Agora, dan dia suka buka konsultasi online gitu buat orang-orang penderita Agrophobia yang yaaaah padahal dia juga begitu. 😐 Dan Anna ini alkoholik abis, mungkin untuk mengatasi rasa PTSD nya dia akan kejadian kecelakaan itu, dia jadi jauuuh lebih banyak konsumsi alkohol. Bahkan dia minum obat dari dokter nya pakai anggur. Heloooow?? Anna sendiri bahkan menjadi salah satu pasien teman psikolognya juga untuk mengatasi gangguan psikologisnya ini.
Anna punya kebiasaan melihat kehidupan para tetangga nya di jendela pakai lensa kamera. Dari perselingkuhan, anak tetangganya yang suka main musik, dan akhirnya dia mendapatkan tetangga baru, keluarga Rusell. Keluarga Rusell terdiri dari Alistair (Suami), Jane (Istri), dan Ethan (Anaknya). Perkenalan keluarga baru ini di awali dengan kedatangan Ethan yang membawa bingkisan ke Anna. Ethan sangat sopan dan baik sekali, sayang dia alergi bulu kucing sedangkan Anna pelihara kucing.
Suatu hari, rumah Anna dilempar telur sama anak-anak iseng gitu lah, dan karena kesal, dia mencoba memberanikan diri untuk keluar, sayangnya dia tetap merasakan rasa cemas luar biasa sampai akhirnya dia pingsan. Dan ditolonglah oleh Jane Rusell. Pertemuannya dengan Jane Rusell pun sangat baik, Jane ramah sekali, ngobrol-ngobrol cantik sama si Anna sambil main catur, bahkan sempat foto matahari petang gitu deh dan gambar sketsa si Anna.
Sampai akhirnya, Anna melihat kejadian dimana Jane meronta-ronta di rumahnya, berlumuran darah, dan ada pisau kecil perak yang menusuk dia. Anna jelas mau nolong, tapi baru keluar rumah dikit, doi ambruk lagi, pingsan. Dan bangun-bangun sudah di rumah sakit. Anna melaporkan apa yang dilihatnya tapi ternyataaaa, jeng-jeng-jeng, Jane Rusell masih ada di rumahnya, baik-baik saja tapiii, dia wanita yang berbeda. Alistair dan Ethan mengakui kalau Jane yang ada saat ini adalah memang Jane, bukan wanita yang pura-pura jadi Jane. Oh ya, saat Anna melihat kejadian Jane terbunuh, Anna dalam kondisi mabuk parah.
Anna berusaha meyakinkan polisi tapi polisi pun juga sangsi sama pernyataan Anna karena yaa orang si Jane ada di rumah dan si Anna juga saat itu dalam kondisi mabuk. Anna berusaha mencari tahu sendiri dan meyakini diri sendiri bahwa yang di rumah itu bukan Jane yang asli, Jane yang asli adalah yang pernah menolong dia, main catur, buat sketsa gambar dia, dan sayangnya, Anna nggak punya bukti apapun tentang pertemuannya dengan Jane kecuali hasil sketsa dan foto matahari petang yang di ambil Jane pakai kamera ponselnya dia. Anna juga menemukan fakta bahwa David, orang yang menyewa ruang bawah tanahnya adalah mantan narapidana dan saat mencoba mencari tahu lebih dalam, Anna menemukan salah satu anting Jane di ruang bawah tanahnya tersebut.
Jadi, Anna halusinasi atau bukan? Kalau bukan, siapa yang bunuh?
***
Review Buku
Aku wah banget sih ketika baca buku ini. Untuk novel debut bertemakan Psycho-Thriller macam gini, ini sudah oke sekali. Dan mungkin memang ketika aku pertama kali beli ini sempat ragu karena tipe-tipe ceritanya yaa macam The Girl on The Train banget kondisi si tokoh utamanya. Apa bakalan lebih baik atau lebih bosenin dibanding itu.
Tapi A.J Finn menampilkan suatu alur yang wah dan membuat ku memaki-maki saking nggak nyangka nya di bab-bab akhir. HAHAHA.
Oke, dari cover, aku nggak nemuin info siapa perancang sampul di novel ini, padahal aku tipe yang kalau review buku suka review juga cover nya. Kenapa? Karena design suatu cover itu nggak mudah. Dia harus bisa merangkum cerita lewat satu halaman gambar. Hebat kan? Makanya aku nggak anggap remeh untuk soal cover.
Untuk cover ini cukup menampilkan "kemisteriusan" dari cerita, tapi agak biasa aja modelnya. Lagian, si Anna ini nggak tinggal di apartemen, tapi tampilan cover versi Indonesia, ini kayak di bangunan apartemen gitu. Aku lebih suka versi yang ini (gambar aku ambil dari www.goodreads.com lagi ya).
Jauh lebih berasa mencekamnya dibanding versi Indonesia.
Lanjut ke penokohan, untuk tokoh-tokoh utama yang menjadi cerita, semua nya pas. Porsinya pas, hanya di awal-awal bab, kemunculan Jane dan Alistair agak terasa lambat sekali nongolnya. A.J Finn juga sempat mengecoh aku dengan menciptakan karakter Anna yang seakan-akan masih lengkap keluarganya, tapi ternyata di pertengahan buku, baru dijelaskan kalau sesungguhnya suami dan anaknya ini sudah meninggal. Karakter Anna yang mengalami PTSD dan agrophobia ini juga tergambarkan dengan baik. Ngeselinnya dapat, tapi setelah tahu apa yang menimpa dia jadi ikut paham kenapa dia bisa begitu. Dan teguhnya dia sih diantara kebimbangannya antara di cap gila dan halusinasi karena kebanyakan mabuk dan menderita kejiwaan itu, tapi dia tetap meyakini dirinya kalau dia melihat pembunuhan dan Jane yang sekarang itu bukan Jane yang asli. Tokoh-tokoh yang lain pun, bahkan si pelaku nya juga karakternya diciptakan dengan sangat apik oleh penulis, betul-betul terasa psikopatnya si pelakunya.
Tema yang diusung masih kriminal dan psycho-thriller ya. Dan seperti yang aku bahas di awal, ini kondisi kejiwaannya tokoh utama sama kayak di novelnya The Girl on The Train. Suka mabuk karena mengalami depresi PTSD. Cuma alasan dibalik terganggunya mereka yang berbeda. Untuk judul juga pas dengan inti cerita. Alur cerita nya campuran, karena ada beberapa bagian yang flashback. Dan cukup unik penempatan flashback nya karena, di awal-awal cerita, penulis seakan-akan memberikan lingkungan keluarga Anna yang buatku kayak Anna ini ditinggal cerai sama suaminya dan anaknya dibawa sama suaminya. Padahal suami dan anaknya sudah meninggal. Dan sengaja tidak disinggung akibat kenapa dia bisa agrophobia padahal dia sendiri psikolog. Makanya terkesan agak lamaaa sekali di awal-awal cerita yang cuma seputar kebiasaan Anna sehari-hari dengan ketakutannya. Baru menuju pertengahan cerita, setelah tahu apa yang menyebabkan Anna menjadi seperti ini dan mulai ada konfliknya, cerita makin terasa seru buatku. Semua tokoh-tokoh yang muncul pas semua untuk dijadikan tersangka, jadi memang penasaran untuk baca lagi sampai habis.
Bahasa dan gaya penulisan juga oke. Penerjemahnya sangat baik dalam menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Gaya penulisannya juga bagus, bahkan untuk novel debut, ini oke sekali. Aku bacanya rasanya "pas" antara kalimat-kalimat deskriptif penulis dengan dialog. Ga terlalu memunculkan deskriptif yang "too much ga penting", pokoknya pas. POV yang dipakai juga sudut pandang orang pertama, jadi seakan-akan kayak dengar dia lagi cerita aja, nggak norak pokoknya. Kadang kelemahan POV sudut pandang orang pertama agak rancu dibagian dialog ya, tapi ini nggak terasa sama sekali, entah ya kalau orang lain berpendapat yang berbeda dengan aku.
Ending, ini sih yang bikin aku mencaci maki karena ngerasa keren, bab-bab akhir ketika udah ketauan siapa pelakunya, orang yang persentase nya kecil untuk kubayangkan jadi pelakunya, justru dia yang ngelakuin. Nah, ini aku agak kasih poin yang turun sedikit ya. Kenapa? Memang ini plot twist banget, banget dalam artian, di bab-bab akhir kalian bakal nemuin plot twist yang terus-terusan.
Aku nggak nyangka bakalan orang ini pelakunya, tapi, why? Alasan yang disampaikan si pelaku ketika membuka semua ceritanya ke Anna ada yang masuk akal dan ada yang buat ku, "apa sih, se-oke apa lu sampai disukain sama teman xxx tapi merasa dipecundangi? (sensor biar ga spoiler) Dan apa hubungannya?" Sori, entah gue yang masih nggak mudeng, atau gimana, pokoknya untuk alasan yang itu buatku nggak terlalu ngena banget. Tapi asli, cara si pelaku yang diam-diam sampai suka masuk ke rumah Anna, fotoin Anna, apalah itu, bener-bener psikopat, dan penulis cerdas sekali, baru di singkap semua di bab-bab akhir. BOOOFF. Keren. Tapiii, lagi-lagi setelah tahu akhirnya seperti apa, gue jadi merasa, ih cemen banget deh ini orang-orang semuanya, masa kalah sama pelakunya? Lagi-lagi tapi, yaa namanya psikopat yaaa apa aja bisa dilakuin sama dia biar puas. Kali aja orang-orang disekitarnya, yang emang tahu perbuatannya, yaa emang takut. Jadi ikutan nutupin perbuatan yang sudah dilakuin si pelaku.
Oke, jadi buat aku, poin nya, hmmm, 8.8 untuk novel ini, aku suka banget plot twist yang terus-terusan kayak gini, jadi rasanya mau maki-maki terus pas baca, "sh*t, gilaaa, jadi gitu? Gila banget ini sih, psycho banget.." and blablabla kayak gitu. Pantes sih kalau Stephen King kasih komen di cover "unputdownable" atau bahkan Gillian Flynn juga komen "Astounding, Thrilling, Amazing". Tadinya mau poin 9, tapi ending yang betul-betul bab terakhir entah aku justru kayak ngerasa hampa dan bengong. Entah kalau pembaca yang lain ya. Jadi, sori to say buat The Girl on The Train, ini jauh lebih oke.
Btw, aku sempet seraching di google, A.J Finn ini bipolar ya?
CMIIW dan kasih aku info lebih kalau ada yang tau. Karena, yaaa emang ini untuk ukuran debut dan mengusung psycho-thriller bagus banget malah. Mungkin dia memang bisa mendalami dari sisi kejiwaan, karena Anna ini oke banget penggambaran dia yang PTSD dan agrophobia nya. Dan si pelaku emang betulan psikopat abis, bukan banyak ke sadis, tapi justru cara-cara dia sebelum melakukan kejahatan utamanya itu psikopat banget. Hebat sih.
Sip.
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru. 😉
Wednesday, August 21, 2019
IQ84 - JILID 1 (Haruki Murakami)
IQ84 Jilid 1 - Haruki Murakami |
"Bebuat kesalahan dan menyesal kemudian, bisa dikatakan mirip juga dengan memilih menu. Baik menu maupun laki-laki atau soal apapun, kita merasa seolah-olah kitalah yang memilih. Tapi mungkin sebenarnya kita tidak memilih apa-apa. Mungkin semua sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan kita hanya pura-pura memilih saja. Mungkin kita keliru menganggap bahwa kita memilih berbagai hal secara bebas. Kadang-kadang aku merasa begitu." (Hal. 321)***
Haiii!
Oke, aku baru kembali utak-atik blog ini lagi setelah hampir setahun lamanya aku nggak nulis sama sekali, karena aku berada dalam kondisi hamil dan persiapan melahirkan dan mengasuh bayi dan segala macamnya, jadi betul-betul nggak kepegang sama sekali blog nya.
Mungkin juga setelah setahun berlalu nya waktu, bisa jadi gaya penulisan ku di blog juga berubah, mohon dimaklumkan.
Sebetulnya selama setahun itu ada beberapa buku yang sudah habis aku baca, cuma yaa lagi-lagi baru bisa mempunyai waktu "kembali luang" nya sekarang.
Nanti mungkin bisa ku kejar review buku-buku yang udah sempat kubaca juga.
Sekarang aku mau review buku dari Haruki Murakami, IQ84 Jilid 1. Telat banget kayaknya ya baru baca buku ini. Dan jujur saja, ini buku Haruki Murakami pertama yang aku baca, jadi aku memang tidak bisa membandingkannya dengan karyanya yang lain, soo, kita bahas bukunya ya!
***
Sinopsis
Judul buku : IQ84 Jilid 1
Penulis : Haruki Murakami
Penerjemah : Ribeka Ota
Penyunting : Arif Bagus Prasetyo
Perancang Sampul : Andrey Pratama
Penata Letak : Dadang Kusmana
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Jumlah Halaman : vi + 516 hlm
Cetakan ke : 4, Februari 2017
ISBN : 978-602-424-005-9
Kekerasan tidak selalu bersifat fisik, luka tidak selalu mengeluarkan darah.Diceritakan dengan tokoh utama, yaitu Aomame dan Tengo dengan alur situasi yang berbeda. Aomame adalah seorang wanita, yang bekerja sebagai pelatih gym, tapi juga membantu seorang wanita tua yang bertugas membunuh pria-pria bajingan yang menyakiti wanita secara fisik. Cara membunuhnya dengan jarum pemecah es yang tipis sekali diisi racun dan mencari titik syaraf tertentu dari si korban kemudian, dibunuh deh. Aomame pernah mengalami masa sulit, dia berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan yang taat, tapi bagi Aomame dia merasa tidak suka berada dalam lingkungan itu. Ketika sekolah, dia suka dikucilkan teman-temannya karena menganut sekte agama tersebut. Sektenya ini agak aneh sih ya, menyiarkan agamanya dari pintu ke pintu orang lain, baca doa keras-keras kalau mau makan, nggak boleh terima donor darah dari orang lain. Jadi kalau kalian sakit atau kecelakaan atau apalah, dan perlu darah, yaa nggak boleh. Kalau nanti mati? Ya mati aja, itu bukti darah kalian murni tanpa campur darah orang lain.
Nah, karena sering di bully temannya ini, dia nggak suka dan merasa nggak nyaman sama lingkungan keluarga dan sekitarnya, di umurnya yang 10 tahun, dia memutuskan kabur dari rumahnya. Yaudah, keluarganya juga udah nggak anggap dia sebagai anggota keluarga lagi. Sampai sekarang dia berjuang menghadapi hidup sendirian.
Tapi sorry, Aomame ini, eeerr, kacau lah kalau urusan nafsu birahi. HAHAHA. Dia suka sama laki-laki yang kepala nya setengah botak dan bertampang cerdas dan kalau udah ketemu tipe kayak gitu, dia ajak bobo dan yaa you know lah, main sepuasnya. Kelainan jiwa sih kayaknya ya.
Ada satu kejadian yang membekas dalam ingatan dia, ketika dia di bully sama teman nya waktu masih kecil di sekolah, ada temannya satu lagi, laki-laki, membela nya dari bully-an. Aomame nggak tahu siapa namanya, tapi dia masih ingat jelas tampangnya kayak apa, fisiknya kayak gimana, dan dia nggak mau orang lain bantu cari sosok orang ini. Aomame mau suatu saat nanti dia ketemu lagi sama orang ini secara kebetulan dan pada saatnya nanti dia akan bilang ke orang itu kalau Aomame suka sama dia.
Yup, kayaknya orang itulah si Tengo. Tokoh utama satu lagi. Dia laki-laki, berperawakan badan yang besar. Dia guru bimbel matematika, sekaligus kerja di penerbitan bersama Pak Komatsu. Dia ngerasa ketika dia ngajar matematika rasanya dunia kayak berubah, semua mengasyikan, apapun bisa diselesaikan serumit apapun, kayak asyik sendiri gitu. Makanya murid-muridnya pun banyak yang suka diajarin sama dia.
Ada satu kejadian juga yang membekas dalam ingatan dia, waktu dia masih bayi, dia melihat ibunya sama laki-laki lain yang bukan ayahnya, dimana si laki-laki ini (sori) nyusu sama ibunya. HAHAHA. Sumpah gue nggak nyaranin umur dibawah 17/18 tahun baca buku ginian sih. Dan itu membekas banget di otak dia meskipun dia juga bingung, "emang bayi bisa gitu ya merekam kejadian macam begini?" Tengo juga mengalami hal yang kurang mengenakan, saat kecil dia selalu menemani ayahnya menagih iuran NHK dari pintu ke pintu orang lain.
Dia punya pacar, wanita yang udah bersuami. Jadi kayak selingkuhannya si pacarnya ini. Jadwal kencannya setiap Jumat, HAHA, dan buat Tengo sendiri sih dia kayak nggak lebih sebagai pemuas nafsunya aja karena butuh. HAHA, gila emang sih ini buku tentang nafsu birahi nya.
Sampai akhirnya, Tengo ini harus berurusan dengan Fuka-Eri, gadis 17 tahun yang mengikuti sayembara cerpen, dan Tengo diminta Pak Komatsu untuk membantu Fuka-Eri dalam penulisan bukunya yang berjudul "Kepompong Udara". Fyi, Fuka-Eri disleksia, jadi, ceritanya bagus, tapi tata bahasanya ancur parah. Termasuk kalau dia ngomong pun, kayak nggak ada tanda baca nya. Fuka-Eri ini menceritakan kalau dia membunuh Kambing Buta dan membuat Orang Kecil marah. Dan ketika ditanya Tengo, dia mengatakan kalau ceritanya itu adalah nyata. Atuhlah siapa Kambing Buta sama Orang Kecil segala?
Okelah, sampai akhirnya Aomame menyadari ada kejanggalan di masa dia ada sekarang. Dimulai dari pistol polisi yang jenisnya udah berubah, adanya peristiwa-peristiwa penting yang miss dia ketahui, sampai dia melihat di langit ketika malam, ada dua bulan dengan warna yang berbeda. Kejanggalan-kejanggalan itulah yang membuatnya merasa, dia bukan di dunia tahun 1984 lagi, dia menamakannya IQ84, dimana Q adalah "Question Mark" yang menunjukan kalau dia nggak tahu ada di tahun berapa sekarang.
Cerita berlanjut dengan permasalahannya Tengo dan Fuka-Eri, beserta Aomame dan kegiatannya itu, sampai bertemulah Aomame dan wanita tua yang mempekerjakan dia untuk membunuh lelaki bajingan itu, dengan seorang anak kecil yang masih berusia 10 tahun, dimana dia mengalami kondisi fisik yang parah, akibat diperkosa habis-habisan sampai rahimnya hancur. Dan ketika ditanya siapa yang melakukan, anak kecil ini hanya menjawab "Orang Kecil". Dan setelah diselediki, ternyata ada kaitannya dengan sekte keagamaannya Sakikage di wilayah Prefektur Yamanashi.
See? Orang kecil ini ada. Dan sempat dideskripsikan di buku ini, ketika si anak kecil ini tidur, orang kecil ini keluar dari mulut si anak kecil, dengan jumlah yang banyak, kemudian dia kayak membuat suatu kepompong gitu deh. Apa sih Orang Kecil ini?
***
Review Buku
Oke, hmm, untuk novel IQ84 ini terdiri dari 3 jilid, dimana jilid 1 nya juga fisik bukunya udah tebel banget. Cuma kebetulan aku belum beli bahkan baca pula jilid kedua dan ketiganya, mudah-mudahan makin bikin penasaran untuk bacanya ya. Sayang aja gitu, penasaran sama selanjutnya tapi jilid berikutnya malah malesin buat dibaca.
Kita bahas satu-satu. Dari cover versi Indonesia, buatku cukup menarik sih, aku bahkan sempat tidak ngeh di tulisan IQ84, di huruf Q nya ada timpaan angka 9 samar-samar. Gambar merahnya kayak lubang kunci yak? Apa bukan? HAHAHA. Yang abu-abu sama hijau itu aku asumsi-in kalau itu penggambaran dua bulan yang dilihat Aomame, karena dia bilang bulan yang satu warna nya hijau.
Etnik-etnik Jepangnya tetap cukup berasa aja di cover ini.
Kita liat beberapa perbandingan cover-cover versi lainnya.
Udah ah, ntar isi nya gambar cover buku semua disini 😐. Pencarian dari goodreads.com semua ya gais.
Dari segi penokohan, aku suka tokoh-tokoh yang dibuat Haruki Murakami ini. Saling berkesinambungan satu sama lain, dan ada pula yang bikin aku penasaran macam Tamaru dan Azami, mungkin? Profesor Ebisuno juga bikin aku penasaran sih. Azami ini aku penasaran banget, dia di deskripsikan anaknya Profesor Ebisuno, yang bantu Fuka-Eri untuk menulis cerpen Kepompong Udara pada awalnya, yang bantu Fuka-Eri dalam membaca buku karena keterbatasan Fuka-Eri yang disleksia, tapi nggak pernah ditampilkan di novel ini wujudnya seperti apa. Mudah-mudahan di jilid berikutnya bisa dijelaskan lebih banyak lagi soal Azami ini. Masing-masing punya perannya yang cukup, nggak berlebihan. Ada yang ngeselin, ada yang polisi tapi b*tch macam Ayumi, tapi semua pas sesuai alur ceritanya. Awalnya aku malah mikir, ini peran si Ayumi apaan sih? Sampah doang? Ternyata di akhir-akhir dia memang membantu Aomame dengan posisinya sebagai Polisi Wanita.
Dari segi bahasa dan gaya penulisan, penerjemah sangat baik dalam menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Mungkin yang agak membosankan justru dari Haruki Murakami nya. Deskripsi nya detail banget tapi detailnya itu ngebosenin banget buat aku.
Contoh ya,
Ketika Komatsu menelpon Tengo, waktu menunjukkan pukul 5 lewat sedikit pada pagi hari Jumat. Saat itu Tengo bermimpi sedang berjalan kaki menyebrangi jembatan batu yang panjang. Dia hendak pergi mengambil dokumen penting yang ketinggalan di seberang sungai. Tengo adalah satu-satunya orang yang sedang berjalan di jembatan itu. Sungai besar dan indah, tampak gosong pasir di sana sini. Air mengalir perlahan, pohon-pohon dedalu tumbuh di gosong pasir. Terlihat kawanan ikan forel berenang anggun. Dedaunan hijau terang berjuntai, menyentuh permukaan air dengan lembut. Pemandangan bagaikan gambar pada piring tembikar Cina. Pada saat itulah Tengo terbangun, menengok jam di samping bantalnya dalam kegelapan pekat. Siapa yang menelponnya pagi-pagi buta, tentu saja dia dapat menebak sebelum mengangkat gagang pesawat telepon. (Hal. 107)Too much ga penting sih menurut ku. Entah kalau buat pembaca yang lain ya. Maksudku, apa sepenting itukah deskripsi-in mimpinya, atau mungkin ada hal tersirat dari tiap pendeskripsiannya. Tapi di awal kalimat udah dikasih tau kalau Komatsu nelpon Tengo, tapi karena hal yang ceritain mimpinya Tengo itu, di akhir paragraf pakai dijelasin lagi "siapa yang menelponnya pagi-pagi buta, tentu saja dia dapat menebak..." Entah ini salah satu ciri karakter gaya penulisan sesuai teori kesusastraan yang memang bukan bidangnya aku jadi aku ga paham, atau memang pembaca yang lain pun merasa hal yang sama kayak aku. Tapi menurutku banyak yang too much description yang justru bikin bosen. Makanya di awal-awal bab, sumpah, aku bosen banget bacanya, baru di pertengahan buku, aku mulai penasaran..penasaran lagi..penasaran terus di setiap bab nya.
Di seberang jalan di bawah tangga tanpa pagar itu, ada gedung apartemen kecil lima lantai. Berdinding ubin dengan corak batu bata berwana coklat, bangunan yang lumayan baru. Deretan balkon menghadap ke jalan layang, namun semua jendelanya ditutup rapat dengan gorden atau kerai. Entah arsitek macam apa yang sengaja memasang balkon pada posisi yang berhadapan dengan Jalan Tol Metropolitan. Pasti tak seorang pun menjemur seprai di balkon itu, tak seorangpun menikmati gin dan tonik di situ sambil memandang kemacetan lalu lintas pada sore hari. Walaupun begitu, di beberapa balkon terentang tali nilon untuk menjemur pakaian, seakan diwajibkan oleh peraturan. Di salah satu balkon bahkan ada kursi taman dan pot tanaman karet. Pohon karet yang sudah pudar warnanya itu tampak menyedihkan. Daun-daunnya sudah bolong-bolong, disana sini ada daun kering coklat. Tidak bisa tidak, Aomame merasa kasihan kepada pohon karet itu. Seandainya bisa lahir kembali, dia takkan mau menjadi sesuatu yang seperti pohon karet itu. (Hal. 47)Aku diam sesaat setelah baca satu paragraf full model begini lho. Dan mikir, "terus?" Sori ya, mungkin pembaca lain punya pandangan yang berbeda, plis kasih tahu aku, kali aja aku nya yang memang buta banget sama gaya penulisan orang, apalagi aku juga baru baca novel karya Haruki Murakami yang IQ84 ini.
Dari segi alur cerita sekalian POV nya ya, POV nya disini orang ketiga tapi ganti-gantian antara Tengo dan Aomame. Jadi bab ini POV nya Aomame, bab selanjutnya gantian POV nya Tengo. Alur cerita nya campuran, maju dan mundur. karena ada beberapa part kayak flashback gitu. Dan yang aku curigakan adalah, Tengo dan Aomame apakah ada di masa yang sama atau tidak, karena di cerita nggak disinggung, cuma perpindahan plot saja. Kenapa aku pikir itu? Pertama, yang sadar tidak di masa saat ini cuma Aomame, dia mengalami miss peristiwa-peristiwa penting yang ada di sekitarnya ditambah ada dua bulan di langit malam. Sedangkan Tengo, dia tahu rembulan ada dua karena cerpen nya Fuka-Eri yang Kepompong Udara ini yang menurutnya adalah nyata. Kalau memang begitu, Aomame berarti ada atau sedang merasakan di masa nya Fuka-Eri.
Aomame bertemu anak umur 10 tahun korban perkosaan yang parah itu dan dideskripsikan pula Orang Kecil secara singkat yang keluar dari mulut si bocah. Bocah kecil ini pun belum jelas, bisa jadi adiknya si Fuka-Eri? Berarti Aomame ada di masa seperti di penggambaran cerpen Kepompong Udara nya Fuka-Eri.
Dan entah aku kebanyakan nonton drama thriller atau baca buku kriminal/thriller dengan plot twist, who knows, kita belum tahu siapa Orang Kecil. Di cerita, Sekte Sakikage ini sesunguhnya sudah menyebar secara diam-diam keluar dari wilayahnya di Prefektur Yamanashi itu. Tapi jelasnya seperti apa belum diketahui. Mungkin saja justru pimpinan sekte itu si Profesor Ebisuno yang sok-sok baik ngarang cerita depan Tengo dan Pak Komatsu. Karena di akhir novel, dia ikut menghilang untuk mencari Fuka-Eri yang juga menghilang setelah novelnya berhasil menang sayembara. Atau mungkin Ayumi sendiri juga salah satu penganut Sekte Keagamaan Sakikage itu? HAHAHA. Masih samar-samar tapi bikin penasaran sih novelnya.
Yang udah baca sampai jilid 3, jangan spoiler ya. WKWKWKWK.
Dari novel ini, banyak hal yang baru buat aku juga berkat Haruki Murakami. Aku sampai searching musiknya Janacek itu seperti apa, terus Etika Nikomakea nya Aristoteles, Novel Kisah Heike atau Sansho Dayu, Musik Bach yang Fuka-Eri sebutnya pakai nomor, macam BWV 846 sampai 893 (The Well-Tempered Clavier, diperjelas Tengo) atau BWV 244 (St. Matthew Passion), Orang Giliyak, Machuria. Bahkan Haruki Murakami sempat singgung novel 1984 nya George Orwell di salah satu part adegannya, yang aku bahkan belum baca bukunya, HAHAHA. Katanya di 1984 nya George Orwell justru menyebutkan Orang Besar. Jadi mungkin ini keterbalikan nya dengan menampilkan Orang Kecil. Tapi itu justru fine-fine saja dalam menemani alur cerita. Wah, cerdas sih Haruki Murakami nyelipin hal-hal beginian di jalan ceritanya.
Ending? Belum jelas ya, karena masih jilid 1. Tapi aku cukup puas, karena justru bikin penasaran seperti apa sih Orang Kecil dan Sekte Sakikage ini. Belum terlihat poin jelasnya di ending novel jilid satu ini, semuanya masih menggantung, baik dari segi Aomame ataupun Tengo.
Pada akhirnya kita akan menemukan sisi kesamaan antara Tengo dan Aomame yang memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan, sama-sama memilih jalan hidup dengan memisahkan diri dengan keluarganya, dan memiliki satu masa dimana keduanya bertemu dan membekas di ingatan masing-masing ketika zaman sekolah dulu. Kesendirian mereka dan bagaimana cara mereka menikmati hidup dengan cara nya masing-masing, termasuk urusan birahi. HAHAHA.
Haruki Murakami memberikan adegan erotis yang mungkin nggak sedetail novel-novel dewasa, tapi dia menempatkan adegan itu di setiap alurnya jumlahnya banyak. HAHA. Dan kalau dibilang parah, nggak juga, tapi dibilang masih batas wajar juga nggak (gimana sih, Del? 😆) Makanya aku agak memilih untuk lebih baik tidak dibaca oleh usia dibawah 17/18 tahun lah ya. Karena lagi asyik baca suatu adegan eh nggak lama tahu-tahu udah berubah jadi adegan erotis atau pembahasan hal yang menuju seksualitas gitu lah.
Poin dari aku? 8,5 untuk novel ini. Kurangnya buat bab-bab awal yang ngebosenin parah. Tapi poinnya naik lagi berkat informasi-informasi hal-hal baru dari penulis dan alur yang makin kesini makin bikin penasaran.
Oke, rasanya review untuk IQ84 Jilid 1 ini sampai disini dulu. Nanti kalau aku udah baca jilid 2 nya, mau review lagi dan mungkin alurnya bisa lebih jelas lagi, rasa penasarannya semakin berkurang.
Terima kasih, kalau ada yang mau bahas sesuai pandangannya, bisa saling share ya.
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru. 😉
Subscribe to:
Posts (Atom)