Baiklah, sebelumnya aku mau mengakui bahwa nyesel banget baru baca buku ini. Padahal sebetulnya aku udah pernah liat buku ini pas zaman aku SMP, di perpustakaan sekolah, tapi entah nggak tau kenapa belum ada tertarik sedikitpun, bahkan buat nyentuh dan baca-baca sinopsis di belakang buku pun nggak. Dan baru beberapa bulan yang lalu, nemuin buku ini di toko buku bekas langgananku, baru deh ada ketertarikan buat beli.
Baru dua minggu yg lalu aku mulai baca, baiklah, aku akuin ini salah satu buku non fiksi yang keren versi aku.
Dikisahkan pengalaman pribadi dari penulis, Torey Hayden, ketika beliau menjadi seorang pengajar di salah satu sekolah berkebutuhan khusus untuk anak-anak. Kelas Torey ini berisi anak-anak yang bukan difable, tapi lebih ke ketergangguan mental dan psikis. Murid-muridnya ada 7 orang, antara lain bernama Tyler yang sudah pernah mencoba bunuh diri dua kali; Susannah Joy, gadis kecil yang cantik tapi menderita skizofrenia kanak-kanak yang parah; William yang fobia air, debu, kegelapan, mobil, alat penyedot debu dan melindungi dirinya dari itu semua dengan bersikap aneh seperti menyentuh dirinya berulang-ulang sambil komat-kamit tanpa suara; Peter yang korban kekerasan dan suka berteriak sambil sumpah serapah; Sarah, korban kekerasan fisik dan seksual dari ayahnya sendiri dan berpengaruh ke sifatnya yg mudah pemarah dan pembangkang; dan Guillermo yang sifatnya juga pemarah dan agresif sekaligus tuna netra.
Menghadapi 7 anak dengan kondisi seperti itu, jelas bukan hal yang mudah bagi Torey. Torey juga dibantu oleh asisten yang pekerja paruh waktu gitu lah, namanya Anton dan Whitney. Anton sendiri dari kalangan pekerja migran, sudah menikah dan punya dua anak. Sedangkan Whitney, masih gadis remaja.
Sampai akhirnya kelasnya ditambah lagi dengan satu anak, bernama Sheila, yang ternyata dia beberapa bulan sebelum dibawa ke kelas Torey, adalah seorang gadis berusia 6 tahun yang baru saja membawa kabur seorang bocah umur 3 tahun, lalu di ikat di pohon dan di bakar sampai nyaris mati sama dia. Sempat jadi pemberitaan di media dan rencana nya oleh negara mau di masukan ke rumah sakit jiwa gitu lah milik negara khusus anak-anak, tapi karena belum ada fasiltasnya jadinya sementara dimasukan ke dalam kelas si Torey ini terlebih dahulu sampai waktu yang ditentukan.
Dan kisah selanjutnya fokus kepada Sheila ini. Awal mula kedatangan dia di sekolah, sangaaat pendiam, nggak mau berinteraksi sedikitpun. Setiap diperintah oleh Torey ini untuk mengerjakan tugas, dia selalu berteriak meraung-raung kayak orang stres. Sampai waktu jam nya makan siang, Sheila ini bikin kehebohan dimana semua murid-muridnya Torey jadi ikutan "menggila", teriak sana-sini, bertingkah kacau lah, karena Sheila dengan sengaja membunuh ikan-ikan yang ada di akuarium dengan mencongkel mata si ikan dan melemparkan nya ke ubin gitu deh. Pokoknya kacau.
Awalnya Torey rasanya bakalan susah dan nggak sanggup buat hadapin anak kecil macam Sheila ini. Tapi dia mencoba dengan pendekatan personal, dimana dia pengen menunjukan ke Sheila ini, bahwa ada orang yang peduli dengan dia. Awalnya emang nggak mudah, tapi lama-lama Sheila sendiri mulai luluh.
Sheila ini tinggal sama ayahnya di perkampungan buruh migran. Miskin, ayahnya doyan mabuk-mabukan, dan sering bertindak kasar sama Sheila. Sheila ini selalu merasa "nggak ada yang peduli sama dia" karena ibunya sendiri meninggalkan dia di jalanan sendirian, dan kabur hanya dengan membawa adiknya Jimmie. Inilah yang tampaknya membuat dia merasa trauma. Ayahnya sendiri karena ditinggal istrinya jadi kayak ikutan nggak peduli gitu sama Sheila ini dan merasa karena Sheila ini lah istrinya jadi meninggalkan dia.
Sheila bahkan cuma mengenakan pakaian yang sama setiap harinya. Sampai bau nya nggak karu-karuan. Sebetulnya banyak sumbangan yang sudah diajukan ke ayahnya Sheila ini untuk pakaian-pakaian Sheila, tapi ayahnya katanya sih nggak mau nerima sumbangan. Tapi yaaa harusnya sih nggak gitu-gitu amat ya.
Sampai akhirnya Torey ini sedikit-sedikit mulai bisa beradaptasi dengan tingkah Sheila. Sheila ini suka sekali dengan pujian, mungkin karena dirinya juga minim sekali pujian, jadi sekalinya kayak teman-temannya memuji dia karena sikapnya yang nggak nakal lagi, dia jadi lebih bersemangat. Terus Sheila ini juga ternyata sangat pintar. Dicoba tes-tes untuk IQ oleh Torey dan psikolog lainnya, hasilnya Sheila ini memiliki IQ diatas rata-rata. Terutama untuk matematika, dia juga awalnya hanya menggunakan media balok kubus untuk pelajaran matematika, karena Sheila entah kenapa benci sekali dengan kertas, jadi kalau Torey menuliskan soal-soal di kertas, yang ada malah kertasnya dirobek-robek sama Sheila. Tapi biar begitu, Sheila hampir selalu benar setiap menjawab soal-soal matematika yang diajukan Torey.
Ketakutan Sheila akan kertas nantinya juga diceritakan sedikit-sedikit mulai menghilang, tapi sayangnya, alasan kenapa Sheila takut dengan kertasnya tidak diceritakan oleh penulis.
Sepanjang novel diceritakan kejadian-kejadian dimana Sheila yang akhirnya disidang, apakah dibebaskan dan tetap bisa belajar di kelas Torey atau tetap di tahan karena kasus nya yang membakar anak bocah kecil itu. Sampai Torey sendiri minta tolong pacarnya yang kebetulan pengacara juga untuk mengurus ini semua.
Ada juga kejadian ketika Sheila di perkosa secara keji dan sadis sama pamannya dan itu betul-betul membuat dia tambah trauma hingga kisah Sheila dan Torey yang harus berpisah karena tahun ajaran di kelasnya sudah habis. Bahkan kelas Torey pun rencana nya sudah ditiadakan lagi dan Torey memilih melanjutkan pendidikannya.
***
Alasan kenapa 9 dari 10?
Entah apa karena aku terlalu menikmati novelnya, jadi aku nggak terlalu sok tahu untuk mengomentari novel ini. Pertama, sebetulnya untuk novel-novel non fiksi kayak gini terkadang aku nggak terlalu memperdulikan gaya bahasa ya. Termasuk novel Sheila ini. Gaya bahasa yang Torey buat pun rasanya aku kayak lagi baca buku harian seseorang yang lebih detail atau kayak lagi dengarin orang curhat. Apalagi pada part-part dimana bahasa percakapan Torey dan Sheila, aku kayak ada diantara mereka dan lagi dengarin mereka ngomong. Menurutku bagus, karena aku sendiri jadi kayak bisa membayangkan mereka berdua dan apapun yang ada di buku itu.
Kedua, alur. Alur nya maju, dari awal pertemuan sampai perpisahan Torey dengan Sheila, tapi kadang diselipkan kejadian-kejadian lalu Sheila. Dari awal cerita tidak ada yang membosankan, karena yaaa, rasanya hampir di setiap bab, aku kayak dapat "ilmu" baik dari Torey sendiri maupun dari ucapan-ucapan sederhana Sheila. Porsi nya pas, maksudnya biarpun dia menceritakan dari awal sampai akhir pertemuannya dengan Sheila, tapi bagian-bagian dalam ceritanya pas, yang diceritakan adalah kejadian-kejadian penting dan menciptakan kesan tersendiri bahkan untuk yang membacanya.
Ketiga, dari segi tokoh-tokohnya, Torey sangat berhasil menuliskan nya seolah-olah aku sendiri bisa membayangkannya. Bagaimana sosok Torey itu sendiri yang menyikapi setiap tingkah laku anak-anak di kelasnya, yang yah mungkin kalau aku yang ada di posisi Torey, belum tentu bisa sesabar dan sekuat dia. Ada sosok keibuan yang ditampilkan, dan begitu perasa, terutama atas kejadian-kejadian yang dirasa tidak adil. Untuk sheila sendiri, sosok yang masih kecil tapi karena beban hidup yang udah dia rasain membuat sikapnya jadi pemberontak, tapi dibalik itu semua, dia tetap anak kecil yang memang butuh perhatian, kasih sayang, dan yaaa layaknya anak kecil biasa. Bagaimana rasanya ketika dia mulai di "perhatikan" oleh Torey, teman-teman di kelasnya, bahkan ketika dia harus mengalami hal psikologis lagi ketika dia diperkosa secara kejam oleh pamannya.
Sumpah, part dimana dia diperkosa pamannya ini yang paling bikin aku miris. Nggak bisa bayangin, anak sekecil Sheila bisa setegar itu lho.
Aku juga suka part disaat Sheila ngaku, kalau dia suka iri liat Susannah Joy yang kalau ke sekolah selalu pakai baju dress ala-ala bocah cewek yang manis. Sedangkan dia sendiri cuma punya baju satu yang selalu dipakai setiap hari ke sekolah. Dan akhirnya, Torey dan pacarnya kasih hadiah ke Sheila dengan ngajak ke mall untuk beli baju yang dia mau. Dan wah, rasa bahagia Sheila yang dituliskan di novel betul-betul ngena buat aku.
Sosok pacarnya Torey pun juga digambarkan dengan baik. Begitu juga ayahnya Sheila, Anton dan Whitney.
Keempat, cover. Sebetulnya mungkin alasan kenapa aku baru penasaran sama buku ini adalah dari covernya. Buatku, covernya nggak terlalu bikin aku minat. Tapi ujung-ujung nya sekarang aku juga jadi minat buat beli dan baca. BAHAHAHA.
Kelima. Mungkin lebih ke amanat, pesan, dan segala macamnya. Aku betul-betul belajar banyak lewat Torey dan Sheila ini. Dan Anton! Seriously. Mungkin di awal, Anton hanya digambarkan asisten kelasnya Torey yang berasal dari perkampungan migran juga, cuma lulus SMA dan sudah berkeluarga. Saat part dimana Torey mengunjungi rumahnya, digambarkan bagaimana anak-anaknya Anton ini sangat memuji-muji Torey yang sudah mengizinkan ayahnya menjadi seorang pengajar juga meskipun cuma sekedar jadi asisten. Dan istrinya bilang, kalau Anton ini mau suatu saat bisa ngajar kelasnya sendiri. Sekilas nggak mungkin. Dari perkampungan miskin, bahkan Torey pun bangga banget pas di part-part akhir dia dikasih lihat surat dari universitas apalah itu, dimana isinya undangan beasiswa penuh untuk Anton di bidang pendidikan gitu lah. Katanya dia juga mau ngikutin kayak Torey.
Semuanya. Semuanya dibuku ini aku rasa belajar pada Torey dan Sheila. Torey memang hebat.
***
Aku iseng-iseng cari di google, siapa sih sosok Sheila yang asli ini. Tapi nggak akan pernah dikasih tahu. Yaaa wajar sih ya, buat privasi orang. Tapi aku nemu web nya Torey, isinya sih tentang komentarnya terhadap buku-buku yang dia tulis. Dan di setiap buku dikasih informasi tentang orang-orang yang menjadi tokoh di buku nya dia tulis, termasuk di buku Sheila ini.
Silahkan coba cek di :
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru.
😉
No comments:
Post a Comment