Monday, October 9, 2017

Sirkus Pohon (Andrea Hirata)



Sirkus Pohon - Andrea Hirata

"Tuhan menciptakan tangan seperti tangan adanya, kaki seperti kaki adanya, untuk memudahkan manusia bekerja. Begitu pesan ayah kepadaku" (Hal. 37)

Kalau kalian mencari bacaan dengan ending yang tak diduga-duga, ini salah satu nya.
Rasanya mau tepuk tangan kasih applause pas udah baca akhirnya ditambah kisah yang diceritakan di novel ini.

Aku sendiri nggak akan nyesel ngasih poin 9.5 dari 10. Atau mungkin sebaiknya ku kasih nilai 10?


***


Simpel Sinopsis


Diceritakan tentang Sobrinuddin bin Sabarudin yang biasa dipanggil Sobri atau Hob (untuk Hob ini ada di bab tersendiri kenapa dia bisa dipanggil seperti itu). Berasal dari keluarga dimana Bapaknya hanya bekerja sebagai tukang minuman di stadion, tapi punya 4 anak. Anak pertama dan kedua sukses punya pekerjaan tetap (bahkan kisahnya kedua anak ini nggak dijelaskan di novel), Sobri dan adiknya Azizah. Sobri ini sekolah SMP aja nggak tamat, sedangkan nyari kerja susah. Paling nggak harus punya ijazah SMA. Sobri ini sebetulnya cerdas, sayangnya aja dia berteman sama yang namanya Taripol dan buat dia drop out. 

Sampai akhirnya, Sobri dapat pekerjaan tetap, jadi badut sirkus keliling. Dia juga suka sama wanita yang pertama kali dia lihat lagi makan buah delima. Bagi dia, wanita itu udah kayak cinta pertama nya. Namanya Adinda. Selanjutnya diceritakan bagaimana Sobri bisa memperjuangkan Dinda, bagaimana dia bekerja menjadi badut sirkus, bertemu dengan Ibu Bos dan Tara. Sampai suka-duka nya bisnis sirkus keliling itu hancur karena hutang.

Selain menceritakan tentang Sobri, tokoh lainnya yang jadi "pusat cerita" adalah Tara dan Tegar. Tara dan Tegar ini sama-sama punya nasib dimana ibu mereka diceraikan Bapaknya. Kalau Tara, bapaknya mewariskan usaha sirkus keliling ini ke ibu dan dan Tara, berbeda dengan Tegar, bapaknya ini mata keranjang. Ibunya mau mempertahankan biar nggak cerai, tapi bapaknya nggak peduli. Akibatnya, Tegar harus cari nafkah buat menghidupi keluarganya.

Tara dan Tegar ini ketemu di Pengadilan Agama, di hari saat ibu masing-masing diadili untuk cerai, tepatnya di taman bermainnya. Saat itu Tara mau main perosotan tapi selalu direbut gilirannya sama anak-anak laki-laki yang ada disitu. Tegar yang merasa itu nggak baik, ngebela Tara. Nggak disangka, ternyata kejadian itu membekas buat kedua nya, dan selanjutnya diceritakan pencarian kedua nya di kemudian hari.

***

Alasan kenapa 9.5 dari 10

Kayaknya nggak perlu ada alasan kenapa aku begitu lebih suka karya Andrea Hirata yang ini. Karena semuanya bagus. 😛

Tapi baiklah, alasan pertama, buat ku tema yang Andrea Hirata sampaikan kali ini agak sedikit berbeda. Kalau membaca tetrologi Laskar Pelangi, kita disajikan tentang bagaimana kita punya mimpi besar dan harus semangat untuk menggapainya, tapi di Sirkus Pohon ini, apa sih yang Sobri mau? Dia cuma pengen bisa kerja tetap yang bisa ngasih dia gaji tetap, bisa punya seragam kayak orang-orang kantoran. Dia nggak kepikiran buat bisa jadi bos lah, pegawai negeri lah, dsb. Dan ketika dia ditawari untuk menjadi Badut pun, aku ikut bisa merasakan betapa bahagia nya Sobri ini. 

Bahagia itu sesederhana yang Sobri inginkan.

Bahkan ketika konflik dia dengan Dinda, keinginan dia terhadap Dinda pun sederhana. Cuma mau ngajak Dinda keliling naik sepeda bareng dia.

Begitu juga konflik antara Tara dan Tegar. Bagaimana Tara ini pintar di bidang seni, bahkan direncanakan untuk bisa kuliah jurusan seni tapi harus gagal karena keterbatasan biaya karena usaha sirkus nya bangkrut. Dia akhirnya cuma kerja serabutan kayak jasa lukis wajah, dekor acara-acara di tempatnya, dsb. Tapi apa sih yang Tara mau? Dia cuma pengen bisa ketemu sama orang yang ngebela nya waktu dulu dan usaha Sirkus nya bisa bangkit lagi.

Andrea Hirata sukses membuat aku merasa, untuk orang-orang seperti mereka, yang ditempa hidup sedemikian kuatnya, bahagia yang mereka ingin kan hanya hal-hal yang sederhana. Rasanya malu sama diri sendiri.

"Mengapa aku tidak ditanya-tanya lagi, Bu?" Karena setiap melamar pekerjaan yang pertama-tama kualami selalu diberondong calon majikan dengan banyak pertanyaan yang akhirnya berujung dengan aku kena pecat, bahkan sebelum diterima.
"Pertanyaanku sudah cukup, Anak Muda"
Masih sulit kupercaya telinga lambingku sendiri.
"Meskipun aku tak punya ijazah SMA atau sederajat?"
"Banyak hal lebih penting dari ijazah, Bung"
...
"Apakah Ibu percaya kepadaku?"
"Apakah Bung percaya kepada Bung sendiri?"
Aku terkesiap.
"Ibu akan mendengar hal-hal buruk yang dikatakan orang tentangku"
Ibu tersenyum.
"Orang-orang yang berkata tentang diri mereka sendiri melebih-lebihkan, orang-orang yang berkata tentang orang lain, mengurang-ngurangi (Hal. 50-51)


Kedua, Andrea Hirata sukses membuat karakter, terutama Sobri (Hob) ini luar biasa hebat. Meskipun di cerita dideskripsikan miskin, bodoh karena cuma sampai SMP dan itupun nggak lulus tamat, tapi seakan-akan aku menaruh hormat kepada dia. Dari bagaimana sabarnya dia, setia kawannya dia terhadap Taripol, polos, jujur nggak mau curang, kerja kerasnya dan semangatnya yang luar biasa itu lho (motto dia "Bangun Pagi, Let's go!") pas dia dikasih kerjaan jadi badut. Begitu juga dengan tokoh-tokohnya yang lain. Jujur aja ya, ini novel rasa-rasanya yang paling banyak nyebutin nama. Banyak banget nama yang disebut dari mulai Instalatur Suruhudin yang suaminya si Azizah, Taripol, Gastori, Adun, Tegar, Tara, Ibu Bos (ibunya Tara), Bapaknya Sobri sendiri, Soridin Kebul, Jamot, Debuludin, Sabaruddin, ah banyak lah. Tapi inilah jeniusnya Andrea Hirata, ternyata masing-masing berhubungan satu sama lainnya.

Ketiga, gaya bahasa Andrea Hirata yang nggak pernah berubah setiap beliau nulis buku. Sampai novel Sirkus Pohon ini, gaya bahasanya tetap sama. Kental sama bahasa melayu yang seru, lucu, dimana ketika kita baca, ada saat kita tersenyum dan ada saat kita langsung ngerasa "jleb" tersindir secara halus. Andrea Hirata betul-betul jenius.

Keempat, meskipun selang-seling bercerita tentang Sobri-Tara-Tegar, tapi aku pribadi tidak merasa pusing dan justru menikmati jalan ceritanya. Hebatnya Andrea Hirata juga, beliau mampu menggambarkan politik yang sederhana, apa sih yang lebih sederhana dari pemilihan Ketua Desa? Tapi beliau menceritakan dengan alur yang sampai dibuat debat antar calon, kampanye lewat poster-poster, dan sebagainya. Sekilas mungkin lebay, tapi percayalah, ini nggak selebay yang kalian pikirkan, justru Andrea Hirata menciptakan situasi yang dibuat secara humor dimana orang-orang yang istilahnya tinggal di kampung pun juga nggak mau kalah sama yang tinggal di kota bahkan dari segi politiknya.

Kelima, apa lagi ya? Andrea Hirata ini betul-betul jenius. Aku nggak pernah nyangka bagaimana beliau bahkan bisa menceritakan sosok pohon. POHON. Bukan manusia. Dengan kisahnya dari buah delima yang dibuang Sobri karena kesal, tapi ada satu yang akhirnya tumbuh meskipun udah kena hujan atau bahkan mau di"matiin" sendiri sama si Sobri tapi selalu aja ada hal-hal yang buat dia nggak jadi ngelakuin itu. Misalnya karena ada burung kutilang, yang hinggap di pohon itu, Sobri jadi nggak tega rusakin pohon itu dan membiarkan untuk tetap tumbuh. Bayangin, bahkan kutilang dengan kalimat percakapan "Trarala, lala, lili, lala" dan ditambah pemahaman Sobri sendiri yang mengartikan siulan si Burung, bisa bikin jalan cerita yang unik tersendiri bahkan ujung-ujungnya saling berhubungan lagi dengan cerita yang lainnya.

Keenam, lagi-lagi, banyak orang yang menggambarkan sosok seorang ibu. Tapi Andrea Hirata selalu sukses menggambarkan sosok ayah yang hebat itu seperti apa.

"Kami berjalan pulang. Ayah di depanku. Pilu aku melihat langkahnya yang lambat terantuk-antuk, bajunya yang lusuh, celana panjangnya yang buruk, kedodoran, dan sandal jepitnya yang telah putus diikat karet. Orang-orang memperhatikan kami, seorang tua, menyandang kas papan beisi minuman ringan, berjalan diikuti badut. Kami melewati perumahan guru, lalu tibalah di jalan panjang yang sepi, yang membelah padang ilalang. Ayah terus bejalan, tak berkata-kata. Ayah yang tak pernah berhenti menyayangiku meski aku selalu menyusahkannya. Cuit-cuit bunyi sendal jepitnya membuatku getir." (Hal. 279)

Ketujuh, ending yang luar biasa nggak bisa diprediksi. Oke, wajar lah ya, kalau jenis cerita yang dibuat agak mempunyai konflik yang rumit. Tapi untuk sekelas jalan cerita yang lucu, ringan seperti ini, rasanya aku juga pengen tepuk tangan kasih applause pas udah baca halaman terakhir. 

Apa lagi ya? Wah udah lah. Rasanya bahkan aku mau ngasih nilai 10, tapiiii... gimana baiknya deh yang udah baca.

Highly Recommended.
Nggak akan nyesel beli buku ini.

Dan, sorry to say, mungkin buat beberapa orang yang merasa, novel-novel Andrea Hirata makin kesini makin nggak sebaik tetralogi Laskar Pelangi, bahkan Maryamah Karpov pun sudah mulai sedikit yang menganggapnya bagus, buatku, Ah bodo amat, aku tetap penggemar tulisan-tulisan Andrea Hirata dan kasih predikat dia penulis jenius.

Selamat menikmati buku. Selamat menemukan hal-hal baru. 😉

No comments:

Post a Comment