Wednesday, August 19, 2020

Orang-Orang Biasa (Andrea Hirata)

Akhirnyaaa, karya Andrea Hirata kembaliii.
Aku selesai baca buku ini bulan Maret yang lalu dan kebetulan juga langsung ikutan Pre Order novelnya saking emang ngefans banget sama karya-karyanya Andrea Hirata.

Di kata pengantarnya Andrea Hirata, bukan kata pengantar juga sih ya, kayak semacam pesan gitu, novel ini dibuat sebagai bentuk menyesalnya Pak Cik karena kurang bisa membantu seorang anak miskin yang sudah diterima di Universitas Bengkulu jurusan Kedokteran hanya karena terkendala uang muka.

Seperti apa novel karya Andrea Hirata yang ke 10 ini setelah novel Sirkus Pohon aku review keren abis-abisan karena emang bagus banget?

Kita bahas novelnya ya.

***

Sinopsis

Judul : Orang-Orang Biasa (Ordinary People)
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-291-524-9.
Halaman : xxi + 300 halaman, 20.5 cm
Cetakan : I, Tahun 2019

Diceritakan di sebuah daerah di Kota Belantik, dimana tingkat kriminalitas di sana bisa dibilang nol. Semua warganya hidup aman, tentram, damai. Pencurian model maling ayam aja nggak ada sama sekali. Cerita mengalir secara 3 bagian yang saling berkesinambungan (lagi-lagi), Pak Inspektur dan anak buahnya yang kerjanya nungguin ada kejahatan kriminal disana tapi nggak ada-ada, sampai si Inspektur kangen rasanya ngejar-ngejar penjahat lagi. Yang kedua, tentang 10 anggota kelompok (geng gitu ya?) yang dari kecil ketika bersekolah akhirnya terpaksa membentuk geng semacam ini karena kesamaan nasib dan situasi mereka, beserta anaknya Dinah, Aini namanya. Yang ketiga tentang guru sekolah yang sudah lama ingin mencari cinta kasih sayang tapi nggak nemu-nemu.

Dari 10 gerombolan itu, sebut namanya, Dinah, Handai, Rustap, Debut, Salud, Sobri, Tohirin, Rusip, Nihe dan Junilah (HAHA, Yang pertama gue apal si Nihe dan Junilah), bermula dimana anak Dinah yang bernama, Aini, diterima di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas ternama. Dinah yang hanya janda, tukang mainan keliling, awalnya juga nggak nyangka kalau anaknya mampu secerdas itu, jelas nggak ada dana sama sekali untuk membiayai anaknya lanjut kuliah. Tapi, sekali lagi, namanya ibu, nggak akan tinggal diam ketika anaknya memiliki cita-cita tertentu.

Awalnya Aini ini sama turunannya kayak ibunya. Bodohnya minta ampun (kalau ikut bahasanya Pak Cik Andrea Hirata). Nilainya merosot mulu, apalagi matematika. Sama, ibunya dulu juga begitu, makanya cuma bisa bekerja jadi Tukang Mainan. Tapi semua berubah semenjak ayahnya Aini (suaminya Dinah) sakit keras. Aini sayang sekali sama ayahnya. Dia rawat ayahnya sedemikian rupa meski harus meninggalkan waktu sekolahnya. Sampai akhirnya, ayahnya dikabarkan hanya bisa dirawat oleh dokter spesialis, yang Aini saat itu tidak tahu menahu apa dokter spesialis itu. Dan berjalannya waktu, ayah Aini akhirnya meninggal.

Sejak saat itu dalam otak Aini cuma satu, dia mau jadi dokter. Dokter spesialis. Dia kejar ketertinggalan belajarnya, dia dekati guru matematika nya yang bahkan bingung tapi juga terharu melihat kukuh nya Aini untuk belajar dari awal lagi, dia belajar pula malam-malam di rumah demi bisa menjadi dokter. Awalnya, gurunya pun sanksi, orang sebodoh Aini, mau mengejar ketertinggalan sedemikian rupa pasti tetap saja sulit. Tapi keteguhan Aini memang luar biasa.

Nilai nya semakin bagus, sampai akhirnya dia diterima kuliah dari universitas ternama, Fakultas Kedokteran. Dinah senang, campur bingung, bagaimana cara dia membiayai anaknya kuliah. Akhirnya Dinah bertemu kembali dengan teman-temanya yg 10 orang itu (termasuk Dinah). Dinah menceritakan kegundahannya dengan teman-temannya, dan teman-temannya sepakat bahwa anaknya Dinah harus bisa masuk Fakultas Kedokteran, setelah lama akhirnya tidak ada diantara mereka dan keturunannya yang memiliki kecerdasan dan mampu bersekolah kuliah di universitas ternama dan fakultas sekelas kedokteran.

Dan mereka bersepuluh akhirnya merencanakan untuk melakukan tindak kriminal, yaitu merampok bank. 10 orang dengan otak yang ga ada cerdas-cerdasnya sama sekali merencanakan perampokan bank dengan sistematis dan kesetiakawanan.

Apakah mereka berhasil merampok bank dan menjadikan Aini bersekolah di universitas ternama, Fakultas Kedokteran?

***

Review Buku

Oke, kita bahas satu-satu ya. 

Dari cover. Sumpah awalnya aku nggak paham kenapa covernya model begitu, orang pakai topeng kera/monyet, tapi setelah membaca bukunya aku mengerti kalau itu salah satu part klimaks nya dari novel ini, tapi mengaitkannya dengan judul sih aku masih bingung ya, kenapa gambar ini yang jadi cover. 

Lanjut ke penokohan. Andrea Hirata udah spesialis deh kalau bikin novel dengan tokoh yang banyak jumlahnya, tapi beliau nggak "keserimpet" sedikitpun antar tokoh. 😌
Bayangin aja, 10 orang dalam satu geng, belum ditambah anaknya Dinah, si Aini, Inspektur dan anak buahnya, si guru kesenian, lawannya gengnya Dinah (Duo Boron dan Bandar serta Trio Bastardin yang terdiri dari Bastardin, Jamin, dan Tarib), dan ada lagi pegawai bank, dan banyak lah pokoknya. Tapi mereka semua disajikan "pas" oleh Pak Cik, dengan keterkaitan satu sama lain, bahkan seakan-akan kayak ini nggak ada tokoh utama, semua tokoh terasa penting. 😏 Orang-orang biasa yang dikisahkan emang biasa-biasa aja kayak miskin, bodoh, selebor, banyak ngoceh, dan sebagainya tapi justru diputar balikkan oleh Pak Cik menjadi orang-orang yang "wow, kok bisa ya kepikiran kayak begitu dengan karakter yang sembrono bisa menciptakan situasi kayak begitu". Hebat lah pokoknya. Cara beliau membuat masing-masing tokoh tetap sebagus biasanya, ada karakter-karakter tersendiri dan nggak bikin salah satu tokoh kayak "nyampah"di cerita.

Lanjut ke Tema, apa ya tema yang tepat untuk novel ini? kriminal tapi kriminal yang seru-seruan sih ini. Pendidikan? Bisa jadi tapi poin pendidikan cuma ketika bahas Aini dan sekolahnya. Perjuangan seorang ibu kah? Ya mungkin itu sih ya. Tepatnya tentang kehidupan. Judulnya pun aku pikir Pak Cik pintar, memberi judul "Orang-Orang Biasa" yang justru tidak biasa. Alur cerita juga sama bagusnya dengan yang novel lainnya. Plot twist nya tetap dapat, tapiiii menurutku (menurutku ya) masih belum se-wah novel Sirkus Pohon sih. Point of View (sudut pandang) masih sama, orang yang serba tahu, menceritakan setiap tokoh satu persatu, dan dengan bahasa dan gaya penulisan yang masih tetap khas nya Pak Cik lah pokoknya. 

Ada nuansa yang berbeda dari novel Orang-Orang Biasa ini dibanding novelnya yang lain. Biasanya Pak Cik memberikan step dimana dari orang yang biasa aja, kemudian menjadi orang yang luar biasa. Tapi ini dari awal sampai akhir, bahkan di akhir, kalian nggak akan menemukan ending seorang Aini yang pintar itu menjadi berhasil (jadi spoiler kan), tapi pemikiran mereka luar biasa. Bingung? Aku juga bingung mau kasih komentarnya kayak apa, yang pasti novel ini "buuuf" banget deh, di luar nalar tapi mikir lagi, "why not? bisa aja ada orang yang memang seperti ini". Pokoknya recommended untuk dibaca, sangat.

Pak Cik biasa nya spesialis kisah membanggakan nya seorang ayah, tapi kali ini kebalikan nya, bagaimana seorang ibu berusaha sedemikian rupa dengan keterbatasan otak, dana, dan sebagainya supaya anaknya kelak bisa meraih cita-citanya. Berhasil kah? Nggak. Tapi pesan yang Pak Cik ingin sampaikan adalah, bagaimanapun dalam hidup, harus jujur. Harus bersih. Mungkin ada hal yang membuat kita tersudut untuk melakukan suatu hal yang "kotor", tapi enyahkan itu, tetaplah berjiwa dan berpikiran "bersih". Disini Pak Cik luar biasa menciptakan alur dengan ending yang baru, dimana tokohnya gagal pada keinginannya tapi sesungguhnya dia menang dalam hidupnya. Keren lah pokoknya.

Poin dari ku? Kalau aku kasih poin 9.5 di Sirkus Pohon, maka untuk Orang-Orang biasa ini aku kasih poin 9.3 deh, karena kalau membandingkan antara dua novel itu, aku lebih merasa puas yang tak terbilang ketika membaca Sirkus Pohon dibanding ini. Tapi novel Orang-Orang Biasa juga nggak kalah luar biasa, dan ga bisa kalian biarkan aja di toko buku tanpa beli atau tanpa kalian coba baca bukunya. Hahaha.

Oke.
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru. 😊

Tuesday, January 7, 2020

(FILM) Kim Ji Young Born 1982




Bulan yang lalu aku nonton film ini dan mungkin beberapa orang (terutama) yang sudah merasakan menjadi seorang ibu akan merasakan hal yang serupa seperti Kim Ji Young.

Film ini based dari novel best seller tapi juga kontroversial di Korea Selatan, dengan judul yang sama, karangan penulis Cho Nam Joo. Kontroversial karena dianggap memiliki pesan feminisme di dalam buku dan sudah pasti di film nya.

Secara garis besar selama aku nonton film ini, aku dapat pesan yang disampaikan. Tapi mungkin dari beberapa hal yang mungkin ga sampai di otak bego ku ini, jadi aku memberikan nilai 4,2 deh ya dari 5 bintang.

Kita review sama-sama ya.

***

Judul Film : Kim Ji-Young Born 1982
Aktor : Jung Yoo-Mi, Gong Yoo, Kim Mi-Kyung, Park Sung-Yun
Director : Kim Do-Young
Tanggal Release Film : 20 November 2019

Ini kisah tentang seorang istri dan ibu bernama Kim Ji-Young. Dulu dia mempunyai cita-cita bisa pergi ke beberapa negara, hidup sebagai wanita dengan karir yang baik, sekolah dengan baik, sekaligus menjadi ibu dan istri yang baik. Namun ketika dia hamil, Kim Ji-Young harus merelakan untuk resign dari tempat kerjanya dan menjadi ibu rumah tangga.

Aktivitas nya sehari-hari menjadi rutinitas yang mungkin membuat dia merasa jenuh dan sangat menginginkan kembali ke kehidupannya yang lalu, dimana dia bisa bebas mengeksplore kemampuan diri dan otaknya yang cerdas, namun yang dihadapi olehnya kini mengurus anaknya yang masih batita dengan segala pekerjaan rumah tangga lainnya.

Ditambah dengan kultur di Korea Selatan yang menganggap bahwa seorang wanita ketika kelak sudah menjadi seorang ibu, ya harus di rumah. Ketika seorang ibu melahirkan bayi perempuan, terasa sekali seakan-akan mereka melahirkan jiwa yang sia-sia. Karena masa depan seorang wanita yaaa diharuskan menjadi seperti itu. Menjadi ibu dan istri, mengurus rumah dengan baik. Tidak perlu bekerja. Kalaupun nekat bekerja, ga akan mudah jalannya untuk menduduki posisi yang lebih tinggi. Karena disana menganggap, yang pantas memimpin segala sesuatunya adalah pria.

Ditambah ternyata Kim Ji-Young mengalama depresi pasca melahirkan yang mengakibatkan dia suka menjadi diri lain yang berbeda dengan dirinya ketika tidak sengaja berbicara dengan orang lain. Ya, melahirkan untuk pertama kali nya memang nggak mudah. Aku juga ngerasain soalnya. Hahaha.

Oke, kita mulai review nya ya.

Kebetulan aku belum pernah baca bukunya, tapi beberapa saat sebelum nonton film ini, aku sempat buka-buka trailer di youtube dan ada salah satu akun di kolom comment yang bilang, lebih baik nonton dulu baru baca buku nya. Karena akan lebih kerasa "dark" nya ketika kita baca bukunya. Tapi sayangnya, aku pribadi nggak terlalu suka baca buku di lanjutkan dengan nonton film, atau sebaliknya. Suka nggak sesuai ekspektasi. Jadi kalau aku udah baca bukunya duluan, aku prefer nggak nonton filmnya sih. HAHAHA.

Dan apakah aku nggak akan baca bukunya? Belum tentu juga sih. Tapi sebagian besar begitu. Tapi aku film Crazy Rich Asian beli buku dan nonton filmnya kok. Karena kebetulan pas nonton film aku kayak nggak puas gitu nonton nya, jadi penasaran beli bukunya.

Dari akting para aktor, nggak usah diragukan lagi sih ya. Sekelas Gong Yoo dan Jung Yoo-Mi mah udah beda. Feel dari Jung Yoo-Mi memerankan Kim Ji Young pun ngena sekali, peran Gong Yoo sebagai suaminya juga sangat care sekali tapi juga sisi ke-pria-an dia yang tidak paham dengan wanita seratus persen juga oke banget. Dan aku suka banget anaknya Kim Ji-Young, cute banget. HAHA.

Yang jadi mertuanya Kim Ji-Young pun feelnya dapet. Ngeselin ala-ala mertua nya kena. HAHAHA. Yaaa bayangin aja, menantu kena depresi pasca melahirkan, dia bilangnya "lagi ga normal". Yaa bener sih istilahnya, tapi kalau aku yang digituin sih yaa gedek aja disebutnya begitu. Hahaha. Yaaa namanya juga cewek yaa. But, aku suka peran dari Gong Yoo yang betul-betul sesungguhnya sangat tidak mau istrinya kenapa-kenapa.

Penokohan juga bagus. Kupikir Kim Ji Young ini akan betul-betul merasakan depresi berat kayak dorama A House on The Slope/Saka no Tochu no Ie (karena kan gue belum baca buku nya yes), tapi ternyata lebih ke depresi kayak berubah menjadi sosok tertentu yang berbicara sesuai dengan isi hatinya dia dan itu sesekali, lebih cenderung murung dan termenung gitu. Gue ga tau gangguan psikologis macam apa ini, yang pasti masuk ke Post Partum Depression juga.

Genre tentang kehidupan ya. Tema yang ingin disampaikan pun sebetulnya seperti menyuarakan isi perasaan dari sisi wanita. Dimana wanita terkesan yaa lo kalau udah menikah, kerjaan lu rumah tangga is first. Ngapain ngejar pendidikan atau pekerjaan segala? Jadi terkesan, wanita itu nggak perlu punya cita-cita tinggi. Dan yaaa, mungkin di Korea Selatan seperti itu kondisinya, sehingga film atau bukunya jadi kontroversi. Tapi di Indonesia ini sendiri sebetulnya terkadang juga kita temui di beberapa kondisional.

Gong Yoo sebagai suami pun juga care sekali, jadi aku merasa, "apa titik terberat dari kisah Kim Ji Young ini? Persoalan budaya saja kah?" Nggak budaya doang juga sih, i know menjadi seorang istri dan ibu itu tidak semudah yang dibayangkan. Tapi memiliki suami macam Gong Yoo (terlepas dari konteks tampang yaaa. WKWKWKWKWK) perhatiannya terhadap sang istri di kisah itu sudah sangat luar biasa. Di kisah juga dia menitipkan baby nya di day care. Sorry gue agak membandingkan dengan ibu-ibu di Indonesia, yang kayaknya masih banyak di sini mengasuh bayi full seharian di rumah. Yaa paling dibantu-bantu bibik buat pekerjaan rumah.

Jadi serumit itukah Kim Ji Young? Di awal-awal film mungkin aku menganggap hal-hal kayak gitu pas nonton. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, hei, aku pun sering sekali termenung lihat jendela luar setiap lagi nyuci piring (dapurku jendela nya langsung menghadap teras rumah), nggak tahu kenapa. Termenung aja. Atau ketika teman-temanku sudah sukses karirnya sedang melihat diriku yang masih gini-gini aja, terkadang juga terbersit ingin bisa kayak dia. Atau lihat teman tiba-tiba sudah wisuda S2 sedang aku mikir mau lanjut kuliah tapi biaya nya memprioritaskan keperluan untuk baby dulu, someday aku berpikir, "siapa yang egois? aku atau lingkunganku?"

This is point, beban yang dirasakan Kim Ji Young mungkin adalah sosok pribadinya. Pribadi nya yang memang dari kecil sudah punya cita-cita yang besar, ingin bisa punya kemandirian dari segi finansial, dan mungkin mendobrak budaya sana yang menganggap kalau anak yang lahir adalah anak perempuan itu kurang memberikan keuntungan, dan tiba-tiba dia merasakan hal yang nggak ingin dia rasakan dan ga bisa dia ubah, yaa jadinya depresi.

Satu-satunya cara memang adalah menerima. Menerima kalau fitrah wanita yaa kelak akan menjadi istri dan ibu (kalau memang mau menikah). Pilihan mengejar karir, pendidikan dan apapun pun, wanita tetap akan dituntut posisinya sebagai istri dan ibu.

Scene nya bagus sekali, adegan yang ditampilkan runtut, cara untuk flashback juga oke. Cuma aku rada sedikit bingung di part pas Kim Ji Young dapat kerja pertama kali, awalnya bapaknya kan kayak ga peduli gitu pas dia cerita lagi nyoba daftar kerja. Pas dapat telpon kalau Kim Ji Young keterima kerja, eh bapaknya ikutan senang. Ku pikir, bapaknya sudah bisa menerima bahwa anak -baik perempuan atau laki-laki- tetap sama rezeki nya. Tapi ternyata sedikit mengecewakan, ketika ibu Kim Ji Young yang marah-marah setelah tahu anaknya depresi dan melihat suaminya pulang membawa oleh-oleh untuk anaknya yang laki-laki saja.

So, aku berpikir, apakah bapaknya mengharap materi dari semua anaknya kah atau gimana sih? Geregetan yes jadinya. Tapi aku suka part ketika adiknya bawa roti isi ke Kim Ji Young, dan dia nanya ke ayahnya kesukaan kakaknya roti isi apa, dan ternyata jawaban ayahnya justru roti isi kesukaan adiknya itu sendiri. Dan disitu adiknya kayak paham kalau ayahnya pun sampai ga tahu kesukaan anak perempuan nya apa, saking nggak terlalu pedulinya sama kakaknya sendiri. Terus dia meluk Kim Ji Young dan disitu aku nyes sekali rasanya. Feel nya dapat sih menurutku.

Eh, iya. Aku juga keluar air mata ketika part ibunya mulai tahu kalau Kim Ji Young depresi dan pas banget Kim Ji Young berubah menjadi sosok yang berbeda dan berbicara dengan ibunya. Disitu ibunya meluk Kim Ji Young uuuuh ngena banget deh. Keren banget aktingnya.

Satu lagi yang feel nya ngena adalah part dimana akhirnya Kim Ji Young berani "bersuara". Ketika dia di kafe dan pesan kopi, tapi anaknya mulai ngamuk, orang-orang mulai kasak kusuk ngomongin dia, ditambah gelas kopinya jatuh dan orang-orang makin ngomongin dia, sampai ada yang terdengar oleh Kim Ji Young dengan bilang, "Kenapa dia ga minum kopi di rumah saja sih?"

Di situ aku rasanya bangga sekali dengan Kim Ji Young. Ya, mungkin pendapat orang ketika melihat seorang ibu berpergian dengan anaknya dan sering kali anaknya ngamuk di jalan karena bosan atau lain hal, dan mulai menggunjingkan si ibu seakan-akan anaknya yang merengek itu mengganggu kedamaian hari mereka, inilah empati. Seorang ibu tetaplah manusia. Cobalah kalian merasakan diam di rumah terus menerus tanpa merasakan bagaimana nikmatnya hawa di luar rumah. Seorang ibu juga berhak mendapatkan kenyamanan hidup, merasakan nikmatnya kopi langsung dibuat di kafe, meminumnya sambil jalan mendorong kereta dorong anaknya, menikmati kanan-kiri sekitarnya. Apakah itu dilarang?

So, Kim Ji Young menyadarkanku -sebagai istri dan ibu- bahwa, seorang ibu berhak bahagia. Dengan cara apapun. Dan Kim Ji Young mungkin di akhir cerita memilih menulis cerita hidupnya sebagai suatu yang dia anggap kegiatan "produktif" nya selain kerjaan rumah tangga. Seandainya orang-orang Korea yang protes film dan buku ini hanya karena memandang patrilialis nya mereka, hmm, semoga mereka menemukan "inti" dari filmnya, bahwa, no, bukan. Bukan wanita ingin disetarakan dengan laki-laki dalam hal finansial atau lebih unggul dalam karir dan pendidikan, tapi ini perihal wanita juga berhak melakukan apa yang mereka suka. Sama berhak nya dengan laki-laki.

Ah, terima kasih Kim Ji Young, aku cukup mendapat ibrah dari film mu. Poin kurangku paling cuma yaaa aku penasaran aja mertua nya gimana, bapaknya gimana ketika mengetahui Kim Ji Young depresi, mereka kayak ga ada andil. WKWKWK. Maksa ya. Tapi kayak ada yang kurang aja rasanya.

See you.
Selamat menikmati film.
Selamat menemukan hal-hal yang menganggumkan.