Tuesday, October 17, 2017

Rumah Cinta Hasan Al-Banna (Muhammad Lili Nur Aulia)



Rumah Cinta Hasan Al-Banna - Muhammad Lili Nur Aulia

"Keluarga Hasan Al-Banna telah memberikan hadiah yang paling indah dalam hidupku..." (Lathifah Husain ash-Shuli, Istri Hasan Al-Banna, Hal.49)
Dan rasa-rasanya, siapa sih yang tidak merasa "beruntung" dan "bahagia" bisa mempunyai suami atau ayah seperti sosok Hasan Al-Banna? 

Aku rasa, buku ini lebih menceritakan sisi Hasan Al-Banna sebagai suami dan ayah (dengan porsi lebih banyak menggambarkan sosok Beliau sebagai ayah) berdasarkan penuturan anak-anaknya, yaitu Sana dan Saiful Islam.

Dari segi isi bukunya, jujur, banyak banget hal-hal yang bisa dijadikan pelajaran, terutama banget buat kaum pria, bagaimana sosok Hasan Al-Banna yang mungkin kita tahu cuma sekedar pemimpin dakwah Ikhwanul Muslimin tapi sesungguhnya, beliau juga sosok suami dan ayah yang luar biasa hebatnya.

Cuma aku pribadi ngerasa masih kurang (AHAHAHA). Rasanya aku pengen baca lebih banyak lagi tentang beliau dan yaaa mungkin emang maksud penulis membuat buku ini yaa batasan nya hanya sampai situ aja kali ya.

Overall, aku kasih nilai 7 dari 10. Tapi untuk pelajaran yang bisa diambil dari bukunya sendiri, ah rasanya semua yang ditulis bisa banget buat dijadiin ilmu parenting kita kelak jadi ayah dan ibu.

***


Resensi 

Biasanya aku nulis simpel resensi, tapi kali ini aku pengen sekalian membagi ke kalian (yang baca) hal-hal baik yang bisa aku dapatkan dari buku ini.

Hasan Al-Banna lahir hari Ahad, 14 Oktober 1906 dari pasangan suami istri, Ahmad Abdurrahman al-Banna dan Ummu Sa'ad. Beliau merupakan anak sulung dari delapan bersaudara. Ayah Hasan Al-Banna adalah seorang penghafal Al-Quran yang telah menjadi hafidz sejak masih kanak-kanak. Ia juga seorang pengkaji ilmu dan belajar di Perguruan Ibrahim Pasha di Iskandariah. Ahmad Abdurrahman al-Banna juga sudah menguasai teknik servis jam tangan sejak kecil. Sebagian waktunya digunakan untuk memperdalam ilmu Islam dan menyusun berbagai kitab. 

"Ibuku, semoga Allah SWT merahmatinya, adalah sosok yang konsisten berpegang pada kebenaran, memiliki kepribadian yang kuat, dan cerdas. Jika sudah menetapkan suatu keputusan, sulit sekali ia akan mundur dari keputusan tersebut" (Jamal Al-Banna, adik Hasan Al-Banna, Hal. 13)

Sedangkan sosok Ummu Sa'ad Ibrahim Shaqr, ibunda Hasan Al-Banna digambarkan seperti itu.

"Allah akan memelihara kebaikan atas keturunan dari orang tua yang saleh" (Hal. 4)

Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah satu tokoh agama di Kota Ismailiyah, bernama Lathifah Husain ash-Shuli. Berawal dari Ibu Hasan Al-Banna yang sedang berkunjung ke rumah keluarga Ash-Shuli dan mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang dibaca oleh Lathifah. Ibu Hasan Al-Banna pun ingin agar Lathifah menikah dengan putranya. Pernikahan Hasan Al-Banna dilakukan secara sederhana. Lamaran dilakukan sekitar awal Bulan Ramadhan, akad nikah dilangsungkan pada malam ke 27 bulan Ramadhan di tahun yang sama dan tanggal 10 Dzulqa'idah dilaksanakan resepsi pernikahan.

Lathifah, sejak awal, telah meyakini bahwa pernikahannya harus menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, bahwa ia harus melakukan ketaatan yang baik kepada suaminya. Ketaatan dan bakti yang bisa mengantarkannya ke surga Allah kelak. (Hal. 30)

Salah satu keadaan yang harus diterima oleh Lathifah adalah konsekuensi dari sang suami yang menjadi tokoh, guru, ustadz, dan aktivis organisasi dakwah, jelas menuntut sikap ikhlas, sabar, dan lapang dada. Meskipun begitu, Hasan Al-Banna juga turut serta dalam membantu untuk meringankan tugas-tugas rumah tangga, seperti mengelola dengan baik permasalahan-permasalahan yang terjadi di rumah, mencatat perkembangan anak-anak, bahkan mendata kebutuhan rumah sekaligus mengatur letak penyimpanannya.

"Subhanallah, Ayahku dihadapan ibuku adalah figur teladan dalam hal pengorbanan karena ibu adalah seorang yang sangat yakin terhadap dakwah yang diserukan ayahku." (Sana, putri Hasan Al-Banna, Hal. 35)

Hasan Al-Banna memiliki delapan orang anak, dengan dua anak meninggal di usia anak-anak. Mereka adalah, Wafa, Saiful Islam, Sana, Shafa (yang meninggal di usia kanak-kanak), Hishamuddin (meninggal di usia anak-anak), Raja', Halah, dan Istisyhad.

Sesibuk apapun Hasan Al-Banna, beliau tidak pernah melupakan keluarganya, bahkan walau hanya sekedar menyempatkan waktu untuk makan bersama dengan anak-anaknya di rumah. Selain itu, beliau tidak pernah berteriak atau bersuara keras di dalam rumah yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang lain akibat tekanan mental dan fisik setelah beraktivitas di luar rumah. Hasan Al-Banna bahkan sangat mampu mengatur dirinya dan selalu disiplin terhadap dirinya sendiri.

"Ayah sangat teratur dalam mengatur kewajibannya, ayah sangat dan sangat teratur sekali. Hampir tidak ada hal yang tumpang tindih dalam dokumennya" (Sana, putri Hasan Al-Banna, Hal. 73)

Kecintaan beliau terhadap anak-anaknya sangat kuat, bahkan beliau menyempatkan untuk membawakan makan pagi ke sekolah anak-anaknya. Dimata anak-anaknya, beliau memiliki kemampuan yang membuat mereka patuh tanpa membutuhkan perintah untuk mentaatinya.

Hasan Al-Banna bahkan juga menerapkan disiplin pada anaknya dalam memberikan uang jajan. Beliau memberikan uang jajan dalam tiga bagian, Uang harian sebesar 3 qirsy, uang pekanan sebesar 10 ma'adin, dan uang bulanan sebesar 50 qirsy. Beliau tidak merasa terlalu memberikan uang jajan yang banyak terhadap anaknya. Baginya, beliau hanya ingin memberikan kepuasan kepada anak-anaknya karena perasaan seorang anak yang tidak memperoleh sesuatu itu tentu bagi anak sangatlah sulit. 

"Hal terpenting bukanlah terakit pada aspek apakah uang jajan itu besar atau kecil. Namun yang terpenting adalah bagaimana pola pendidikan dan pembinaan yang dilakukan di dalam rumah" (Saiful Islam, putra Hasan Al-Banna, Hal. 82)

Selain itu, beliau membiasakan anak-anak untuk berinfak bukan sebatas berinfak sekali atau dua kali, melainkan harus menjadikannya sebagai karakter atau tabiat untuk selalu berinfak. Beliau juga senang mengarahkan anak-anaknya dengan cara tidak langsung agar apapun yang anak-anaknya lakukan itu tumbuh dari diri mereka sendiri, bukan dari perintah ataupun tekanan siapapun.

Cara yang baik dan benar adalah dengan menanamkan langsung nilai-nilai kebaikan dalam jiwa anak melalui cara yang praktis. Menuntun tangan sang anak untuk melakukan sesuatu sekaligus menjelaskan caranya dengan kecintaan dan kehati-hatian, serta latihan untuk menerapkannya. Salah satu kebiasaannya pula dengan melakukan dialog secara tenang untuk memperbaiki kekeliruan yang dilakukan anak-anaknya.

"Seperti itulah ayah, ayah selalu tidak pernah memaksa kami untuk melakukan sesuatu. Namun ayah mengarahkan kami dengan cara yang tepat. Mungkin saja, kami merasa sangat segan dengan ayah dan sikapnya itu. Namun, kami tidak merasa takut pada ayah" (Sana, putri Hasan Al-Banna, Hal. 115)

Hasan Al-Banna tidak membedakan sikapnya terhadap anak laki-laki maupun perempuan. Bahkan dalam pemberian hukuman sekalipun. Meskipun begitu, tetap ada keseimbangan dan keadilan dalam pendidikannya. Dengan bersikap lemah lembut terhadap anak, makan anak menjadi tidak takut dalam berterus terang mengakui kesalahan karena baginya, orang tua mereka tidak akan merespons dengan tindakan kasar tetapi dengan kelemahlembutan sikapnya. Begitu pula dengan pemberian hukuman. Ada aturan tersendiri dalam penerapannya, antara lain sebuah hukuman adalah untuk mengenalkan dan menyadarkan seseorang atas kesalahan yang dilakukannya dan menjadikannya jera untuk mengulanginya.

"Ayah hanya ingin membuatku mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan" (Sana, putri Hasan Al-Banna, Hal. 119)
"Ayah mempunyai perasaan yang sangat halus, bahkan mungkin bisa dikatakan sangat lembut" (Saiful Islam, putra Hasan Al-Banna, Hal. 126) 

Ayah yang sukses adalah yang selalu menghapus air mata anaknya dan mengusir kesedihan dalam hati anaknya. Selain itu, pelukan terhadap anak juga menghantarkan energi kuat dalam diri seseorang dan bisa menyentuh perasaannya yang paling dalam. Hasan Al-Banna juga selalu melatih dan mendidik anaknya untuk merdeka dan bersandar pada diri mereka sendiri, bukan pada orang lain, agar anak-anaknya bisa memiliki pribadi yang kuat.

Hasan Al-Banna ditangkap pada tanggal 14 Oktober 1941 karena pidatonya yang mengkritik sistem politik Inggris pada Perang Dunia II dan meninggal pada tanggal 12 Februari 1949 di depan gedung Organisasi asy-Syubban al-Muslimin di jalan Ramses Kairo karena ditembak dari sebuah senjata yang diarahkan dari sebuah mobil.

"Ayah telah menunaikan hak keluarga dengan sangat baik" (Saiful Islam, putra Hasan Al-Banna, Hal. 137)

Hasan Al-Banna adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya, suami yang tulus mencintai istrinya, dan ayah yang memiliki kedekatan batin dengan anak-anaknya. Beliau juga seorang guru yang pandai memberikan nasihat serta penyambung silaturahmi baik dengan keluarganya maupun keluarga istrinya.

"Seorang mukmin yang disebut telah memenuhi faktor-faktor kesuksesan adalah ketika keimanannya kuat kepada Allah, komitmennya kuat terhadap peraturan Allah, perilakunya yang ikhlas terhadap dakwahnya, dan keseriusannya dalam membangun fondasi untuk pembangunan umat. Tidak hanya itu, ia juga harus menjadi manusia yang sukses di rumahnya, keluarganya, dan menyambung silaturahmi, baik dengan keluarganya sendiri maupun keluarga pasangan hidupnya" (Hasan Al-Banna, Hal. 190)

***

Alasan Kenapa 7 dari 10

Diluar dari isi bukunya yang banyak banget ilmu nya, tapi ada hal-hal teknis lain yang membuat aku sedikit agak kurang sama buku ini.

Pertama, aku paham sih ini buku seperti ringkasan kisah karena juga cuma 189 halaman. Tapi aku ngebayangin porsi bagaimana menceritakan sosok Hasan Al-Banna sebagai seorang ayah sama banyaknya dengan sosok beliau sebagai suami. Tapi di buku ini, aku sedikit bisa menemukan sosok beliau sebagai suami. Entah mungkin secara referensi kisah-kisah yang memang terbatas sehingga penulis pun juga kurang menemukan bagian itu, tapi yaaa buatku sih jadi penasaran aja sosok beliau lebih banyak nya sebagai seorang suami.

Kedua, ada poin-poin (penulis menuliskan sikap-sikap Hasan Al-Banna dalam poin-poin berparagraf) yang terkesan diulang-ulang. Padahal di poin sebelumnya sudah pernah dijelaskan oleh penulis. Selain itu, ada juga poin yang seharusnya bisa aja digabung dengan poin lainnya kerena menurutku isi dari poinnya sebetulnya bisa dikombinasikan jadi satu. Makanya lagi-lagi aku merasa "kurang" dan pengen lebih banyak tahu sosok Hasan Al-Banna lebih detailnya lagi.

Ketiga, kisah yang diambil penulis masih sebatas dua anaknya saja, padahal anaknya ada delapan (dengan yang masih hidup 6 orang). Yaaa entah mungkin balik lagi ke referensi yang bisa jadi terbatas juga. Tapi ya itu tadi, karena penulis menceritakan dengan mengambil kesan-kesan dari anak Hasan Al-Banna yaitu, Sana dan Saiful Islam, dan itupun rasanya masih sedikit menurutku, jadi balik lagi ke poin dua, penulis jadi banyak buat poin-poin yang terkesan diulang-ulang.

Keempat, berhubung ini bukan novel, jadi aku mungkin lebih bahas gaya bahasa penulisannya. Setelah aku baca, bahasa yang digunakan sih simpel, nggak rumit, dan nggak membosankan. Karena kadang kita malas baca buku-buku yang berbau biografi seseorang. Tapi penulis sukses membuat pembaca untuk memperkenalkan sosok Hasan Al-Banna diluar sosoknya dalam pemimpin dakwah Ikhwanul Muslimin, tapi sebagai sosok di keluarganya.

Selebihnya sih buku ini bagus. Karena juga bukan novel, melainkan kisah-kisah yang bisa kita ambil dari seorang tokoh besar, jadi pastinya banyak hal-hal baik yang bisa kita tiru dan kita jadikan pelajaran di kehidupan kita. 

Okay. Selamat menikmati buku. Selamat menemukan hal-hal baru. 😊

No comments:

Post a Comment