The Silent Wife - A.S.A Harrison |
Okaaay.
Kali ini aku baru aja selesai baca buku Silent Wife. Eh, sebetulnya judul bukunya apa sih? Silent Wife apa The Silent Wife? Soalnya kalau baca bukunya, di tiap lembar di bagian atas nya sih tulisannya The Silent Wife. Cuma di cover tulisannya Silent Wife (aja).
Selesai baca buku ini kesan nya, kelam, emosional (emosional dalam konotasi betul-betul emosi karena kesal ya), diam-diam mematikan.
Poin? Hmm. 8.5 untuk novel ini.
***
Simpel Sinopsis
Dikisahkan tentang Jodi dan Todd yang sudah dua puluhan tahun tinggal bersama tapi sayangnya mereka nggak menikah. Alasannya karena Jodi sendiri yang nggak mau untuk menikah. Berkali-kali Todd mencoba melamar Jodi, selalu kayak dialihkan pembicaraan nya jadi membahas hal lain.
Todd adalah seorang agen properti lokal yang mulai berhasil dalam usahanya sedangkan Jodi adalah psikolog yang membuka praktik sendiri setelah mengambil studi pascasarjana Psikologi. Dua-duanya secara materi nggak ada masalah apapun, hubungan mereka berdua pun nggak ada yang berbeda secara sepintas. Jodi masih setia banget nungguin Todd balik ke apartemen, memasak buat Todd, merapikan baju-baju nya Todd, melakukan kegiatan apapun yang memang sudah sehari-hari menjadi kebiasaannya dia terhadap kehidupan Todd. Todd sendiri pun tetap sama, masih mencintai Jodi sama besarnya, menganggap Jodi adalah wanita paling cantik bahkan masih tetap cantik meski sudah berumur 45 tahun, pokoknya tetap memuja Jodi dan rasanya nggak akan bisa ngebayangin bagaimana hidupnya kalau nggak ada Jodi.
Kita nggak akan pernah tahu, karena sikap Todd kepada Jodi pun amat sangat tidak ada yang mengecewakan.
Tapi ternyata dia selingkuh, dengan mahasiswi umur 21 tahun (kalau ga salah, pokoknya masih 20an awal), dan itu anak SAHABAT nya sendiri. Iya, sahabatnya, namanya Dean. Dan mereka bersahabat dari usia mereka masih anak-anak.
Emosi nggak sih lo?
Dan suatu hari, selingkuhannya ini yang bernama Natasha, ngajak pergi liburan bareng gitu lah dan you know lah akhirnya selang berhari-hari selanjutnya, efek dari liburan itu, dia kasih kabar yang awalnya dia pikir si Todd ini pasti senang, karena akhirnya mereka bakalan punya anak. Iya, anak. Todd sendiri emang mengharapkan bisa punya anak. Intinya si Natasha ini hamil.
Kebayang lah bagaimana si Todd ini campur aduk perasaannya. Bingung gimana cara dia menjelaskan ke Dean dan Jodi tentang ini. Sedangkan Natasha sendiri selalu maksa Todd untuk segera ngaku ke mereka berdua supaya bisa menikah dan tenang dalam menjalani hari-hari kehamilan dan selanjutnya.
Hingga akhirnya Jodi dan Dean tahu kenyataannya. Perasaannya? Ya murka lah. Tapi Jodi beda. Marahnya dia diam, stay cool aja. Lama-lama mulai lah kayak harta gono-gini milik Jodi dan Todd dipermasalahkan. Jodi diminta keluar dari apartemen karena itu milik Todd, kartu kredit milik Jodi di non aktif kan. Alasannya? Itu punya Todd, dia yang nyicil, dan sekarang karena udah mau nikah sama Natasha, jadi dia nggak punya tanggungan lagi dong sama Jodi. Karenaaaa, mereka kan nggak nikah. Jelas si Todd ini punya alasan nggak perlu nafkahin Jodi lagi.
Masih diam kah Jodi digituin?
Masih.
Stay cool, tapi ternyata keadaan memang mudah banget ya merubah sikap seseorang.
Akhirnya bagaimana?
Silahkan baca sendiri ya bukunya. HAHAHA.
***
Alasan kenapa 8.5 dari 10
Mungkin buat orang lain liat tampilan bukunya kayak malesin banget ya. Entah sih, tapi buat aku pribadi pas liat buku ini langsung penasaran. Kayak creepy creppy, diam-diam menakutkan gitu lah hawa nya. BAHAHAHA.
Tapi bayangan ku di awal, mikirnya si Jodi ini kayak korban kekerasan suami gitu lah, tapi ternyata pas baca, nggak ada sama sekali kondisi kayak begitu. ๐
New York Best Seller cuuuy. Dan setelah lihat-lihat info (biasa laah di gugel) ternyata ini novel fiksi pertama dan terakhirnya A.S.A Harrison (penulis sudah menulis 4 novel tapi non-fiksi), karena beliau meninggal tepat beberapa bulan sebelum novelnya ini diterbitkan karena sakit kanker.
Kita bahas satu-satu.
Poin plus pertama, A.S.A Harrison ini emang cerdas ya dari segi pengetahuannya beliau tentang psikologi. Banyak banget teori-teori yang diselipkan sama beliau lewat bagian-bagian dimana si Jodi ini kayak lagi ngebatin atau mikir sesuatu. Teori Adler lah, Jung bahkan Freud sekalipun. Saling bergantian dan hampir sebagian besar selalu muncul setiap Jodi kayak lagi merenung atau ngebatin atau apalah namanya itu.
Tapi aku sendiri jadi mikir, ini poin plus tapi juga kayaknya malah minus.
Kenapa? Ada hampir dalam beberapa halaman isinya pikirannya si Jodi ini yang too much teoritis tanpa percakapan sama sekali, dan aku ngerasanya malah kayak.... bosen. Pengen skip aja rasanya. Abis juga kadang ada yang pas aku baca, aku malah nggak ngerti itu maksudnya apa. Jodi ini jadi terkesan hebat sekali mampu "menahan dirinya" melalui teori-teori para ahli psikologi itu. Tapi kenyataannya, semua bakalan terkalahkan. Jodi tetap kalah sama emosinya sendiri. Tapi yaaa itu tadi, terlalu banyak teoritis dan jadi kayak "nggak banget".
Kedua, gaya bahasa. Terjemahan nya bagus dan kayaknya emang dari segi bahasa pun bagus. Kata-kata yang digunakan itu (apa ya istilahnya) indah tapi nggak lebay. Kayak teks-teks narasi drama gitu deh. Eh jangan-jangan aku nya malah yang lebay? BAHAHAHA.
Overall untuk gaya bahasa, aku suka.
Ketiga, mengenai genre, mengusung Psychology Thriller. Aku nggak tahu apa ini pas untuk dibilang begitu, karena biasanya (biasanya lho yaaaa) kalau tema kayak begitu, tokohnya ada kelainan jiwa atau mengalami hal tertentu yang membuat psikologis dia dituntut terbebani secara dadakan tepat pada saat kejadian "intinya". Dan Jodi ini nggak ada masalah itu secara kasat mata ya. Yang terlihat memang kayak seorang wanita, yang dikecewakan, numpuk-numpuk-numpuk terus kecewa dan "BUM", murka lah dia.
Atau kayaknya aku deh yang salah mengartikan Psychology Thriller. Kalau memang ini termasuk ke Psychology Thriller buat ku sih feel nya agak kurang. Jodi memang lama-lama menghadapi tekanan dari Todd karena masalah harta nya itu. Tapi dicerita, Jodi sendiri mungkin nggak terlalu masalahin banget karena dia sebetulnya juga punya pekerjaan. Meskipun si tokoh selalu bawa-bawa teori kayak psikologi (karena Jodi ini kan emang psikolog ceritanya). Aku malah baru ngerasa beban psikologis nya si Jodi ini baru muncul pas Todd ini mati dibunuh. Psikologis nya dia baru kerasa ketika mulai dicari siapa yang ngebunuh Todd ini. Yang dia sampai stress dan kena dehidrasi parah itu lho.
Atau jangan-jangan psikologis nya karena Jodi ini ada sakit hati juga sama Todd dan Natasha kali ya.
Dan untuk tema, kalau mengusung tentang urusan rumah tangga yang berujung pada suatu hal kriminalitas sih udah banyak ya. Makanya dipromosikan sebagai the next Gone Girl dan "girl-girl" lainnya. Yaaa mungkin dari segi temanya yaa sama. Tapi porsi dan jalan ceritanya tetap aja beda. Dari segi kelam dan menyakitkan nya aku sih lebih dapet feel nya di The Silent Wife ini dibanding Gone Girl.
Keempat, alur. Sejujurnya aku suka alur dimana para tokoh bercerita di novel ini. Emang ada tokoh yang nggak bercerita? Hahaha bukaaan. Karena itu tadi, terkadang penulis too much teori dan aku yang rasanya lagi kebawa emosi dengan alurnya antara Jodi dan Todd ini ditambah si Natasha yang, aaaah, tengil deh, terus muncul part dimana Jodi yang ngebatin itu tadi. Jadi males.
Alur yang dipakai maju mundur. Ada dimana mereka mengingat kejadian-kejadian masa lampau dan sebetulnya nggak ada masalah. Nggak ada yang mengganggu. Cuma itu tadi, jadi kadang lagi asyik-asyik udah penasaran kelanjutannya kayak apa, eeeh muncul pikirannya si Jodi ini. ๐
Bisa jadi sih orang malah nggak masalah sama itu, tapi buat aku itu cukup malesin.
Kelima, tokoh. Aku suka suka suka banget sama penokohan disini. Semua nya feel nya dapet. Dari Jodi, Todd, Natasha, Dean, bahkan sampai asistennya Todd tuh yang di kantor namanya aku lupa (Stephanie?), atau bahkan penjaga anjing nya si Jodi ini, feel nya dapet.
Hahaha. Aku yang berlebihan kayaknya.
Tapi beneran deh. Emosinya dari masing-masing tokoh tuh dapet. Gimana setia nya Jodi yang sebelum ada kabar nggak enak soal selingkuhan Todd ini, mau aja ngelakuin hal-hal rumah tangga padahal istri juga bukan. Gimana rasanya dia pas tahu Todd ini selingkuh dengan anak masih 20an dan anak sahabatnya Todd pula, ditambah ketika semakin lama tekanan yang dia hadapi semakin banyak. Ngeselinnya juga dapet, karena siapa suruh lo nggak mau nikah sama Todd juga, jadi begini kan.
"Kau punya rumah yang indah, istri cantik yang mencintaimu, dan semua rekreasi sampingan yang diinginkan kaum lelaki. Ditambah lagi kehidupan yang, untungnya, bebas dari jenis penyedotan uang yang dilakukan oleh para mantan istri penghisap darah yang membencimu. Dan, kini kau ingin membuang kesemuanya itu untuk bergabung dengan jajaran lelaki berusia setengah abad sepertiku, yang kewalahan menghadapi perempuan dan yang otaknya ada di dalam celana? Aku kecewa terhadapmu, Todd. Kupikir kau lebih bijak." (Hal. 175)
Untuk tokoh Todd sendiri juga, di awal-awal cerita yang menampakan diri sebagai seorang suami yang baik dan sempurna, tapi setelah mulai tahu kalau dia ini selingkuh, sama mahasiswi 20 tahun lagi padahal dia sendiri umurnya udah setengah abad, jadi kerasa banget nyebelinnya. Bahkan di part pas dia ke dokter dari mulai muncul sariawan yang nggak ilang-ilang itu sama pas gatal-gatal di selangkangannya dan dikhawatirkan kena HIV, aku rasanya malah seneng dan ngebatin "mampus lu" terus. ๐
Iya lah. Malah dia mau diperlakukan ini-itu sama si Natasha. Ya ampuuun, dari segi umur aja beda jauh, lebih pantes kayak bapak sama anak. Tapi dia mau aja disuruh-suruh sama bocah. Nggak ada tegasnya sama sekali. Jadi kayak pengecut. Malesin banget.
"Jodi, Jodi, kau harus tenang. Kita saling mencintai. Kita memiliki sejarah bersama. Segalanya berubah. Itu saja. Menyehatkan jika orang berkembang dan melanjutkan hidup. Itulah yang selalu kau katakan kepadaku."
"Baiklah. Orang berkembang. Jadi, jika memang itu kasusnya, apa yang kau lakukan disini semalam? Apa maksudnya itu?"
"Kau lebih suka jika kita tidak saling bertemu? Masuk akalkah itu? Aku merindukanmu. Aku ingin menemuimu sesekali."
"Kau ingin menemuiku sesekali."
"Tentu saja. Tidakkah kau merasakan hal yang sama?" (Hal. 205)
B*ngs*t nggak sih? Itu dia ngomong kayak gitu setelah dia pindah apartemen sama si Natasha, terus kayak kangen gitu lah, kangen perhatiannya Jodi yang selalu ngurusin dia kayak nyiapin makanan dan sebagaimana. Terus akhirnya nemuin Jodi tapi buat semalam doang. Nggak mau kalau Jodi membatasi pertemuan mereka dan dengan entengnya cuma bilang mau menemui Jodi sesekali.
Helooooo, aku ngerti si Jodi ini juga salah karena toh dia sendiri bukan istri. Tapi aku rasa, perempuan manapun kalau digituin juga pasti sebel lah. Emang nya kita apaan? Datang kalau butuh doang. Buang aja orang kayak gini.
Jadi ikutan emosi kan.
Dan untuk tokoh-tokoh yang lain pun juga pas. Natasha tengil nya minta ampun. Kayak nggak punya malu. Bikin emosi deh pokoknya. Begitu juga dengan Dean pas mulai tahu anaknya hamil gara-gara sahabatnya sendiri. Ah pengen berkata kasar pokoknya.
Keenam, ending. Plot twist nya dapet. Rasa deg-degan nya makin lama makin memuncak. Dapet lah. Nggak nyangka kalau endingnya bakalan begitu. Dan betul-betul menimbulkan pertanyaan banget, jadi kenapa si X yang dijadiin tersangka? Gimana cara nya? Terus pas si Y ini cerita ke temannya dan temannya bilang bisa menyelesaikan masalah itu semua dengan mudah tinggal siapin duit doang, awalnya emang aku bakalan yakin si Y ini yang berencana ngebunuh, tapi malah si X yang ditangkep polisi karena ada bukti-bukti kayak transferan dari rekening si X gitu. Tapi anehnya ketika si Y ini coba hubungin temannya, nomornya nggak pernah aktif, lost contact. Dan sampai cerita selesai, nggak dijelasin gimana caranya bisa si X yang jadi tersangka.
Aku jadi mikir, apa jangan-jangan sebetulnya emang si X ini yang ngebunuh dan rencana si Y beserta temannya itu sebetulnya nggak terjadi. Si temennya Y malah cuma ngambil duit yang dikasih sama Y, makanya dia nggak bisa dihubungin lagi. Atau memang rencana mereka berdua berhasil dengan cara si temennya Y ini memanfaatkan posisi si X sampai akhirnya si X deh yang dijadiin tersangka.
Ngeri ya, aku suka banget sebetulnya ending-ending yang ambigu begini.
Yang aku dapat juga setelah baca buku ini adalah (ini sok tau nya aku aja ya), kayaknya orang yang bahkan udah mengalami hal-hal yang katakanlah "menjadi dirinya kuat" secara psikologis, bertahan untuk menghadapi setiap hal-hal yang nggak mengenakan itu, bakalan ada "batasnya" juga. Tinggal bagaimana lingkungan sekitarnya aja yang bakalan bantuin untuk tetap bersikap baik atau justru manas-manasin psikologis kita untuk melakukan hal buruk.
Oke. Pokoknya yaaa sangat menarik lah buat dibaca. Cuma buat aku, emang kayak tadi yang kusebutin, terkadang terlalu banyaknya teori malah bikin aku males bacanya. Tapi ketika betul-betul udah berhubungan sama cerita intinya sih, betul-betul recommended.
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru. ๐
No comments:
Post a Comment