Hai gais! ๐
Agak lama nih posting buku lagi, tapi itu karena aku lagi mencoba menghabiskan buku Origin nya Dan Brown, dan yaaa cukup memakan waktu, karena aku kerja juga, jadi baru bisa baca kalau pulang kerja. Dan untuk bawa-bawa buku itu biar bisa dibaca di jalan kayaknya susah. Kebetulan aku beli yang hardcover (promo dari salah satu toko buku online yang sekalian print signature dari Dan Brown nya sendiri). Jadi memang agak lama untuk berhasil selesai baca buku baru lagi.
Tapi jelas, bosen lah ya kalau semisal di kantor lagi ga ada kerjaan, terus bingung mau ngapain, untung nya sih di kantor juga aku numpukin buku-buku yang belum kubaca yang kadang aku beli di toko buku online.
Aku niat nya sih mau baca buku yang agak tipis lah biar nggak kecampur jalan ceritanya sama buku Origin-Dan Brown.
Akhirnya aku nemuin buku Love Story karya Erich Segal ini.
Ya ampuuun.
Ini buku udah lama toh ya?
Tapi aku baru nemu di toko buku online malah sekitar bulan oktober apa november gitu lho. Dan cek, ternyata buku yang ini cetakan ke-13 itupun keluaran bulan Mei dengan keluaran pertama buku aslinya di tahun 1970!
Daaaaan, ternyata aku cukup berhasil selesai baca dalam dua hari di selang-seling kerjaan di kantor.
Poin ku 8 dari 10.
***
Simpel Sinopsis
Cerita ini tentang kisah cinta nya Oliver Barrett IV dan Jenniferer Cavilleri. Oliver Barret IV kuliah di Harvard jurusan Hukum, sedangkan Jennifer kuliah di Radcliffe jurusan Seni. Oliver (nanti Jennifer manggil dia dengan sebutan "Ollie") adalah salah satu mahasiswa berprestasi sekaligus atlet hoki es yang terkenal di kampusnya, jadi dibanggakan gitu lah di kampus. Ayahnya, Oliver Barrett III, adalah salah satu pengusaha sukses, dimana "Keluarga Barrett" itu sendiri turun temurun sangat terkenal. Bahkan nama Barrett sendiri jadi salah satu nama gedung di Harvard.
Keberhasilan Ollie sendiri tidak terlalu membuat dia bahagia, karena biar bagaimanapun juga dia selalu kayak ada di bayang-bayang ayahnya yang jauuuuh lebih sukses lagi dibanding dia. Makanya dia sendiri kayak benci banget sama Oliver Barrett III.
Jennifer berasal dari keluarga yang biasa saja. Tidak mempunyai ibu (entah nih, aku ngeh nya cuma dia tidak beribu), hanya dengan ayahnya yang bekerja sebagai pembuat kue.
...kenyataan bahwa Jennifer anak tunggal, yang diperkuat oleh kenyataan bahwa ia tak beribu, yang berarti ia luar biasa dekat dengan ayahnya. (Hal. 67)Tuh, cuma kayak begitu.
Lanjut.
Mereka berdua bertemu awalnya karena Ollie lagi di perpustakaan Radcliffe, dan Jennifer salah satu petugas perpustakaan tersebut. Kenalan dan jadian deh. Mereka memutuskan menikah pun terbilang cepat, bertemu dengan ayahnya Oliver sekali dan Oliver langsung berkata pada ayahnya bahwa dia ingin menikahi Jennifer. Kemudian gantian mereka berdua mengunjungi ayahnya Jennifer yang bernama Phil, dan menjelaskan bahwa mereka ingin menikah.
Ollie putus urusan semua nya dengan ayahnya. Berkeluarga dengan Jennifer betul-betul dari nol. Mereka baru lulus kuliah, kemudian Jennifer mendaftar untuk jadi guru seni dan Oliver mengejar beasiswa untuk pascasarjana di bidang Hukum dengan mencari pekerjaan-pekerjaan tambahan untuk menghasilkan uang buat mereka berdua.
Semua baik-baik saja. Kisah cinta mereka manis, meski harus berjuang dua-duanya karena betul-betul membangun keluarga dari nol, hingga akhirnya sedikit-sedikit mereka berdua mulai bisa punya uang yang lebih dan Ollie lulus pascasarjana dan diminati perusahaan-perusahaan untuk bekerja dengan mereka. Tapi, Jennifer belum juga bisa hamil. Padahal mereka ingin sekali punya anak. Mereka cek ke dokter kandungan, tapi ternyata yang diperoleh Oliver berbeda, Jennifer menderita Leukimia. Oliver pun menutupi informasi dari dokter tersebut dan tidak memberitahukan ke Jennifer.
Lalu bagaimana kisahnya? Apakah kisah mereka berakhir bahagia?
***
Alasan 8 dari 10
Oke, sebetulnya agak bingung mau kasih poin berapa. Karena novel ini pun udah di film kan, dan masuk ke sastra yang sudah lama juga ya. Banyak orang yang menganggap novel ini bagus, dan aku pun juga menganggap ini bagus. Tapi karena otak aku sudah terdistorsi sama novel-novel zaman sekarang, rasanya kurang etis kalau membandingkan nya dengan novel zaman sekarang. Btw, aku belum coba nonton filmnya, bisa jadi jauh lebih bagus dibanding novel nya ini.
Dari segi cover, cover buku lama nggak tahu kayak apa. Coba cek aja yang mau tau lewat gugel. Tapi untuk yang cetakan baru ini, cukup manis. Warna pink-pink gitu dan dengan judul yang simpel sekali, "Love Story" yaaa berarti aku udah bakalan tahu dong ya ini novel ceritanya tentang apa. Karena beli via online, dan nggak ada detail berapa jumlah halamannya (atau aku nya yang nggak detail lihat infonya), pas dapat bukunya + lihat halamannya cuma 144 halaman (itupun udah termasuk "tentang penulis") agak sedih, yaah tipis banget. HAHAHAHA.
Tapi, dengan tipisnya buku ini, penulis rasanya pas menceritakan kisah hidup Oliver dan Jennifer. Karena memang tiap bab nya diisi dengan kejadian-kejadian yang penting saja, jadi nggak bertele-tele. Buatku ini bagus, meski kadang juga ngerasa, "bab tadi ceritanya baru nikah, terus bab selanjutnya udah beberapa tahun berikutnya", tapi kalau dipikir-pikir lagi yaa justru kalau dibuat bertele-tele kayaknya malah jadi nggak enak ya.
Daaaan, ternyata, aku berusaha menyelidikinya, novel ini sebetulnya kayak skrip awal dari film nya gitu. Makanya emang jadinya tipis.
Kedua, alur, oh my god, Oliver ini baru laki-laki! Suka sama cewek yaa nggak usah lama-lama, menurut dia ini udah yang "pas" yaudah nikahin. Meski bapaknya kurang setuju (yang aku tangkap, bapaknya kurang setuju karena Oliver ini masih dalam posisi kuliah dan masih muda juga. Untuk tanggapannya terhadap Jennifer sih kayaknya nggak terlalu dipermasalahkan sama dia), tapi mendapat izin dari bapaknya Jennifer, buat Oliver menjadi berani mengambil resiko menikah muda ini. Mereka nggak peduli status sosial yang membedakan mereka berdua, yang penting masing-masing udah saling percaya.
Dan, duh curhat kan, kondisi Oliver dan Jennifer sama seperti yang aku rasakan.
Saat ini.
Part dimana Oliver berjuang dari nol ketika menikah, sama kayak aku dan suami juga mulainya dari nol (meski ada kerjaan tapi kita jelas bukan orang kaya raya. HAHAHA).
Dan saat mereka berdua ingin banget punya anak.
Berkhayal ngasih nama anak nya apa, dan seperti apa anaknya nanti.
Sorry ya curhat.
Aku juga masih menunggu "anak" kayak mereka berdua, jadi pas baca part ini, kayak sedikit meneteskan air mata.
Karena aku juga ngelakuin hal yang sama kayak mereka, berkhayal mau ngasih nama apa, nanti kalau punya anak, anaknya kayak gimana. Sesimpel itu. But, buat orang-orang yang sudah menikah, jelas ini menjadi sedikit kekhawatiran.
Membuat anak ternyata tidak semudah yang kubayangkan.
Sebetulnya ironis juga kalau pemuda-pemuda yang melewatkan tahun-tahun pertama dalam kehidupan seks mereka dengan harapan tidak menghamili gadis-gadis (dan waktu aku baru mulai, kondom masih "in"), lalu membalik cara berpikir mereka dan mulai terobsesi dengan kehamilan dan kebalikannya.
Ya, itu memang bisa menjadi obsesi. Dan aspek paling mulia dari kehidupan perkawinan bisa kehilangan sifat alami dan spontan. Bagaimana tidak, memprogram ("program" sebenarnya kurang cocok; kesannya terlalu mesin)-memprogram cara pandang kita tentang sanggama berdasarkan aturan, kalender, strategi ("Bukankah lebih baik kalau besok pagi saja Ol?") bisa menjadi sumber ketidaknyamanan, kekesalan, dan kekuatan.
Sebab kalau kita melihat bahwa pengetahuan kita sebagai orang awam serta usaha kita yang - menurut kita - cukup memadai tidak membuahkan hasil, kita bisa diliputi berbagai keraguan yang mengerikan. (Hal. 115-116)
Untungnya punya suami yang menenangkan, sama seperti Oliver, suami selalu peluk dan menepuk-nepuk punggung setiap kali merasa "masih gagal". It's true. Kerasa banget part ini.
Penulis memberikan alur yang cepat, karena bukunya juga tipis, jadi langsung ke poin-poin yang betul-betul "merubah" situasi si tokoh dari yang awalnya begini kemudian jadi begitu. Dan buatku ini bagus.
Ketiga, penokohan. Aku suka semua tokoh disini. Bahkan ayahnya Oliver yang sangat dia benci. Aku nggak tahu sih rasanya seperti apa menjadi bayang-bayang seorang ayah yang hebat, dan dimana hasil kerja keras kita yang bahkan menurut kita membanggakan, tapi menurut dia belum tentu membuat dia bangga. Tapi pasti menyebalkan. Cuma bagaimana Oliver menanggapi nya, membenci ayahnya sedemikian rupa, bahkan pas ayahnya ulang tahun, tapi Oliver nggak mau datang, dan Jennifer berusaha merayu Oliver supaya agak sedikit melunak sama ayahnya karena jelas ayahnya juga sudah tua dan sudah lama tidak bertemu dengan keduanya. Ada kesan yang "jleb" aja ketika Jennifer betul-betul mengharapkan bisa "melunakan" hati suaminya terhadap ayahnya.
Dan ketika Oliver sendiri menyangka bapaknya tidak menyetujui kalau dia menikah dengan Jennifer, kayaknya itu cuma salah paham Oliver sendiri.
"Ayah, aku tidak mengerti bagaimana menikah dengan mahasiswa Radcliffe yang cantik dan cemerlang bisa diartikan sebagai pemberontakan. Maksudnya, dia bukan hippie yang sinting..."
"Bukan hippie, dan masih banyak lagi."
Ah, akhirnya sampai juga kita.
"Apa yang paling mengganggu Ayah - bahwa dia Katolik atau bahwa dia miskin?"
Ia menjawab dengan berbisik, sambil agak membungkuk ke arahku.
"Apa yang paling menarik untukmu?"
Rasanya aku ingin berdiri dan pergi. Aku memberitahu ayahku.
"Jangan lari, bicaralah seperti laki-laki," ia berkata.
Jangan seperti apa? Seperti anak kecil? Perempuan? (Hal.65)
Jadi kayaknya si Oliver ini udah ngambek duluan. Padahal bapaknya justru bilang, "bicaralah seperti laki-laki".
Begitu juga ketika ayahnya, Oliver Barrett III, pas Oliver datang ke kantornya untuk minta uang (untuk biaya rumah sakit Jennifer) dan itu merupakan momen pertama kali setelah bertahun-tahun menikah dan belum bertemu dengan ayahnya sama sekali. Oliver mengucapkan terima kasih ke ayahnya.
"Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Baik, Sir," sahutku.
"Dan Jennifer?"
Aku memilih untuk tidak berbohong, melainkan menghindar-padahal itu justru masalahnya-dengan menjelaskan kemunculanku yang mendadak.
"Ayah, aku perlu meminjam 5000 dolar. Untuk tujuan baik."
Ia menatapku. Dan seingatku, ia mengangguk-angguk.
"Nah?" katanya.
"Sir?" aku bertanya.
"Bolehkan aku tahu untuk apa?"
"Aku tak bisa menceritakannya. Tapi aku sangat membutuhkan uang itu. Please."
....
Aku mengulurkan tangan dan mengambil cek itu. Ya jumlahnya 5000 dolar, ditandatangani oleh Oliver Barrett III. Tintanya sudah kering. Aku melipatnya dengan hati-hati dan menyelipkannya ke dalam kantong dada, lalu berdiri dan menuju pintu. Aku tahu aku seharusnya mengatakan sesuatu, misalnya bahwa karena aku tokoh-tokoh Boston (mungkin bahkan tokoh-tokoh Washington) maka aku terpaksa menunggu di luar... dan sebagainya.
Aku berdiri di depan pintu yang sudah setengah terbuka, dan mengumpulkan keberanian untuk menatapnya dan berkata,
"Terima kasih, Ayah." (Hal, 132 & 136)
Penokohan disini digambarkan sangat bagus. Menurutku sih nggak ada yang mengganggu. Malah aku suka semua tokoh disini.
Keempat, untuk tema, sebetulnya udah sering banget ya tema kayak begini. Jadi kayaknya nggak terlalu "wah". Tapi karena ini novel lama dan mungkin di zamannya tema-tema kayak begini masih "gress" (yailah bahasa lu) bisa jadi memang difavoritkan. Terlepas dari film nya, aku juga belum pernah nonton film nya, katanya sih bagus.
Kelima, ending. Cukup menyesakkan, karena akhirnya yaaa meninggal. Tapi ternyata ada lanjutan novel nya juga ya. Tapi dari segi mengagumkan sih aku masih merasa ending nya sih baik-baik saja. Tidak terlalu mengejutkan.
Oke.
Mungkin kalau yang suka cerita-cerita romantis ala-ala dewasa (apa ya bahasanya? Cerita romantis yang nggak menye-menye kayak usia remajaan) ini cocok buat kalian baca. Terlebih dari segi jumlah halaman yang membuat kalian nggak perlu menghabiskan waktu sampai berhari-hari.
Selamat menikmati buku.
Selamat menemukan hal-hal baru. ๐
No comments:
Post a Comment